REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Militer Myanmar pada Jumat (21/12) mengumumkan penghentian kegiatannya selama lebih empat bulan di kawasan utara negara itu, tempat mereka memerangi pemberontak suku minoritas. Langkah itu dipandang sebagai langkah rekonsiliasi yang jarang terjadi dan bertujuan untuk memulai pembicaraan perdamaian.
Tentara akan menghentikan operasi militer di wilayah-wilayah bagian utara dan timur hingga 30 April 2019, demikian diumumkan kantor panglima tertinggi militer. Penghentian itu akan memungkinkan para perunding militer untuk mengadakan pembicaraan dengan kelompok-kelompok pemberontak, yang telah menolak menandatangani perjanjian gencatan senjata di seluruh negeri, dengan tujuan merampungkan proses perdamaian pada 2020.
Juru bicara pemerintah Zaw Htay mengatakan, pihak militer telah memberi tahu pemerintahan sipil pimpinan Peraih Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi sebelum pengumuman tersebut dipublikasikan. Kedua pihak disebut bekerja sama mengenai proses perdamaian itu. "Kami berharap akan ada hasil yang bagus," kata Zaw Htay dalam jumpa pers di Naypyitaw, Ibu Kota Myanmar.
Suu Kyi memberikan prioritas untuk mengakhiri konflik-konflik sebelum ia mulai naik ke tampuk kekuasaan pada 2016, tetapi pembicaraan telah gagal mencapai kemajuan yang penting. Militer Myanmar terlibat dalam berbagai konflik selama beberapa dekade dengan kelompok-kelompok, yang mengatakan mereka mewakili kepentingan suku minoritas yang menginginkan otonomi lebih di wilayah-wilayah mereka.
Militer menyatakan penghentian operasi militer di Negara Bagian Kachin di Mynamar utara dan Negara Bagian Shan di Myanmar timur laut akan mengganggu jalur komandonya. Setelah koalisi kelompok-kelompok yang berperang di sana meminta penghentian sementara dalam konflik bulan ini.
Bentrokan-bentrokan antara tentara dan pemberontak menyebabkan lebih 100 ribu orang terlantar sejak gencatan senjata dengan Tentara Kemerdekaan Kachin gagal pada 2011.
Maung Maung Soe, pengamat politik yang berkedudukan di Yangon, mengatakan, untuk pertama kali dalam sedikitnya tiga dekade, pihak militer secara sepihak mengumumkan penghentian pertempuran.
"Perdamaian bagi seluruh negeri akan bergantung pada pembahasan lebih jauh dengan setiap kelompok," katanya. Menurut dia, akan ada kekhawatiran bahwa pengumuman tersebut tidak mencakup Rakhine, negara bagian di Myanmar barat, yang dilanda konflik.
Pengumuman pada Jumat itu tak secara khusus membuat rujukan kepada Rakhine, tempat pihak militer memerangi Muslim Rohingya dan Buddha dalam beberapa tahun belakangan.
Militer melancarkan penindakan keras sebagai tanggapan terhadap serangan-serangan pada Agustus 2017 oleh Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA), yang mengaku mewakili minoritas Muslim Rohingya. Myanmar memandang kelompok itu sebagai teroris dan mereka tidak dimasukkan ke dalam perundingan-perundingan.