REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani menelepon Presiden Sudan Omar al-Bashir pada Sabtu (22/12) untuk menyatakan dukungannya bagi Sudan. Dukungan tersebut disampaikan setelah protes-protes antipemerintah berlangsung beberapa hari, kata kantor Bashir dalam satu pernyataan.
Qatar dan para saingannya di kawasan semakin berebut pengaruh di Sudan dan negara-negara lain di Laut Merah dan Teluk Aden. Negara-negara Teluk juga telah menjadi sumber pendanaan bagi Sudan setelah negara itu kehilangan tiga perempat dari keluaran minyaknya ketika wilayah selatan memisahkan diri tahun 2011.
Sejak Rabu (19/12), kota-kota di seluruh Sudan diguncang aksi-aksi protes, yang dipicu kemuduran ekonomi. Para pengunjuk rasa juga menyerukan agar kekuasaan Bashir, yang sudah berlangsung 29 tahun, diakhiri.
"Dalam pembicaraan lewat telepon, Sheikh Tamim menyatakan negaranya berdiri bersama Qatar dan siap menawarkan semua hal yang perlu untuk membantu Sudan mengatasi cobaan berat ini, dengan menegaskan keinginannya bagi stabilitas dan keamanan Sudan," demikian bunyi pernyataan tersebut.
Kantor berita negara Qatar QNA membenarkan pembicaraan lewat telepon itu.
Reuters melaporkan seorang juru bicara pemerintah Sudan mengatakan pada Jumat (21/12) bahwa aksi-aksi unjuk rasa di negara itu, sebagai protes terhadap kenaikan harga, yang menewaskan sedikitnya delapan orang dalam dua hari belakangan ini telah "keluar rel dan dialihkan oleh para penyusup".
"Demonstrasi damai telah diselewengkan dan dialihkan oleh para penyusup menjadi kegiatan subversif yang menyasar lembaga-lembaga publik dan properti, pembakaran, penghancuran dan pembakaran beberapa markas kepolisian," kata Bishara Jumaa dalam pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita resmi Sudan News Agency.
Dia tidak menyebut siapa yang dimaksud penyusup itu tetapi dia juga mengatakan para pengunjuk rasa, beberapa telah menyerukan penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dimanfaatkan oleh partai-partai oposisi.
"Beberapa partai politik muncul dalam usaha mengeksploitasi kondisi ini untuk mengguncang keamanan dan stabilitas demi mencapai agenda politik mereka," kata Jumaa. Dia tidak mengidentifikasi partai-partai tersebut. Ditambahkan, aksi-aksi protes itu "telah ditangani oleh polisi dan pasukan keamanan dengan cara beradab tanpa kekerasan atau perlawanan."
Warga masyarakat di Sudan marah karena kenaikan harga dan kesulitan hidup yang mereka alami, termasuk kenaikan harga roti dua kali lipat tahun ini serta pembatasan penarikan uang di bank. Tingkat inflasi Sudan yang mencapai 69 persen termasuk yang paling tinggi di dunia.
Tokoh terkemuka oposisi Sudan Sadiq al-Mahdi kembali ke Sudan pada Rabu (19/12), setelah mengasingkan diri selama hampir setahun, dan menyerukan peralihan demokratis di Sudan.
"Rezim yang berkuasa telah gagal dan terjadi kemunduranan ekonomi dan erosi nilai mata uang nasional," kata Mahdi, yang merupakan perdana menteri Sudan terakhir yang terpilih secara demokratis dan sekarang memimpin partai Umma, kepada ribuan pendukungnya.
Demonstrasi-demonstrasi pada Rabu dan Kamis termasuk di antara yang terbesar sejak kerumunan massa bangkit memprotes pemotongan subsidi negara tahun 2013.
Para pejabat mengatakan kepada Sudania 24 TV bahwa enam orang tewas dalam protes-protes di al-Qadarif, kota di bagian timur negara itu, dan dua lagi di negara bagian Sungai Nil di bagian utara. Mereka tidak memberikan rincian mengenai bagaimana orang-orang tersebut tewas.
Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan sekitar 500 orang di Khartoum, Ibu Kota Sudan, dan kemudian mengejar serta menangkap sejumlah pengunjuk rasa, kata seorang saksi mata.