Ahad 23 Dec 2018 21:10 WIB

Faksi Palestina Kecam Putusan Pembubaran Parlemen

Mahkamah Konstitusional Palestina memutuskan pembubaran Parlemen yang dipimpin Hamas.

Seorang anak tengah memegang bendera Palestina di Gaza. Hingga saat ini, pembicaraan damai Israel-Palestina berjalan alot, Hamas selaku otoritas di Gaza menginginkan Israel mencabut blokade. Sebaliknya, Israel menolak usulan tersebut.
Foto: AP
Seorang anak tengah memegang bendera Palestina di Gaza. Hingga saat ini, pembicaraan damai Israel-Palestina berjalan alot, Hamas selaku otoritas di Gaza menginginkan Israel mencabut blokade. Sebaliknya, Israel menolak usulan tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Faksi-faksi Palestina telah mengecam putusan Mahkamah Konstitusional untuk membubarkan Parlemen yang dipimpin Hamas. Pada Sabtu (22/12), Presiden Palestina Mahmoud Abbas berjanji akan melaksanakan putusan pengadilan tersebut untuk membubarkan Parlemen dan menyelenggarakan pemilihan anggota Parlemen baru dalam waktu enam bulan.

Di dalam satu pernyataan pada Ahad, kelompok Jihad Islam menggambarkan putusan itu sebagai "bencana". Juru Bicara Jihad Islam Mosab Al-Berem menggarisbawahi perlunya "untuk tidak mencampur-adukkan masalah hukum dengan masalah politik".

Baca Juga

"Persatuan nasional mesti dicapai dengan dasar kemitraan dan keharmonisan internal untuk menentang pendudukan (Israel)," kata Al-Berem, sebagaimana dikutip Kantor Berita Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Ahad malam.

Front Rakyat bagi Pembebasan Palestina menggambarkan putusan itu sebagai "keputusan politik yang akan menambah penghalang baru bagi upaya perujukan Palestina". Mereka mengatakan, hal itu akan membawa "perpecahan ke tingkat baru yang bahkan dapat membuat rumit urusan dalam negeri, dan menyeret kancah Palestina ke dalam pergolakan mengenai keabsahan".

Kelompok tersebut menyeru Pemerintah Otonomi Nasional Palestina, yang berpusat di Ramallah, Tepi Barat Sungai Jordan, untuk tidak melaksanakan putusan pengadilan. Sebaliknya, Pemerintah memusatkan perhatian pada pelaksanaan kesepakatan perujukan.

Gagasan Nasional Palestina juga memperingatkan bahwa putusan tersebut "akan menyeret rakyat Palestina ke dalam jebakan Kesepakatan Osli --yang ditandatangani dengan Israel pada 1993-- mengenai hak untuk memutuskan nasib sendiri dan telah dikesampingkan oleh pemimpinnya". Putusan itu adalah "pelanggaran nyata terhadap Pasal 47 Hukum Dasar Palestina, yang menyatakan bahwa masa jabatan Dewan Legislatif hanya diputuskan ketika semua anggota majelis yang baru terpilih diambil sumpah mereka".

Komite Perlawanan Rakyat juga menolak putusan tersebut, dan menyatakan di dalam satu pernyataan bahwa tindakan semacam itu akan "menambah dalam perpecahan Palestina". Hamas sebelumnya telah mengecam putusan pengadilan itu, dan mengatakan putusan tersebut "tak memiliki nilai hukum atau konstitusional".

Pada 2006, Gerakan Perlawanan Islam itu meraih suara mayoritas dalam pemilihan anggota Parlemen. Namun proses legislatif tersebut diganggu setelah pertikaian antar-Palestina meletus pada 2007, ketika Hamas merebut kekuasaan atas Jalur Gaza.

Sejak itu, pertikaian telah berlangsung antara Hamas dan Faksi Fatah, pimpinan Abbas, kendati berbagai upaya penengahan telah dilancarkan. Meskipun Hukum Dasar Palestina menyerukan penyelenggaraan pemilihan anggota Parlemen setiap empat tahun, tak ada pemungutan suara yang diselenggarakan sejak 2006.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement