Senin 24 Dec 2018 11:09 WIB

Keluarga Korban Lion Air Jadi Rebutan Pengacara dari AS

Mereka mendorong para kerabat menuntut Boeing untuk dapatkan kompensasi lebih besar.

Red:
abc news
abc news

Ketika pesawat Lion Air JT 610 jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, dan menewaskan 189 orang, Edwin tak menyangka dirinya akan jadi perebutan oleh apa yang digambarkan seorang pengacara sebagai "predator musibah".

Sepupu Edwin, Murdiman, tewas dalam kecelakaan itu. Dibutuhkan waktu hampir dua minggu sebelum jasadnya berhasil diidentifikasi dan diserahkan ke pihak keluarga untuk dimakamkan.

Di saat anggota keluarganya masih dilanda kesedihan, mereka menghadapi dilema membingungkan.

Lion Air menawarkan pembayaran asuransi sebesar 1,25 miliar rupiah, sesuai dengan hukum Indonesia yang menetapkan kompensasi harus ditawarkan dalam waktu 60 hari sejak kecelakaan.

Tetapi jika menerima uang tersebut, mereka akan kehilangan hak untuk menggugat maskapai penerbangan, produsen pesawat Boeing, atau ratusan perusahaan lain yang terkait dengan pesawat nahas tersebut.

Bahkan bagi Edwin, yang juga berprofesi sebagai pengacara di Jakarta, itu merupakan pertimbangan yang mustahil dilakukan.

 

Pada minggu yang sama, pengacara litigasi yang mewakili firma hukum lokal dan AS mulai mengincar para keluarga korban.

Mereka mendorong para kerabat ini menuntut Boeing, perusahaan AS, untuk mendapatkan kompensasi yang jauh lebih besar.

Edwin mengaku didekati seorang pengacara, lalu datang pengacara lain, kemudian pengacara ketiga. Semuanya menawarkan bantuan untuk mewakilinya menuntut Boeing.

Salah satunya, Ribbeck Law Chartered, menjanjikan pembayaran potensial dari Boeing sebesar 5 juta dolar hingga 10 juta dolar atau sekitar Rp 72 miliar sampai Rp 145 miliar.

"Penumpang akan selalu menang. Ini hanya soal berapa banyak mereka akan dibayar," kata Manuel Von Ribbeck dari firma hukum tersebut.

"Perusahaan asuransi berusaha membayar seminimal mungkin, dan kami mencoba meminta kepada juri jumlah setinggi mungkin untuk mereka," katanya.

Firma hukum ini akan mengantongi sepertiga dari pembayaran itu jika kasusnya berhasil, atau 25 persen jika diselesaikan di luar pengadilan.

 

Bagi Edwin dan keluarga korban lainnya, ini seperti "mengharapkan burung yang terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan".

Yaitu, pilihan antara menerima dana kompensasi Rp 1,2 miliar sekarang atau menunggu bertahun-tahun untuk kemungkinan pembayaran dengan jumlah miliaran rupiah.

Dan ada pula pertaruhan lainnya.

Menurut Edwin, kantor pengacara Ribbeck Law hanya akan berupaya menuntut kompensasi dari Boeing, meskipun belum ada temuan pasti tentang siapa, atau perusahaan mana yang harus disalahkan.

"Apa yang diinginkan keluarga kami adalah keadilan ditegakkan di Indonesia, bukan hanya menuntut Boeing," kata Edwin. "Tapi Ribbeck hanya setuju untuk menuntut Boeing."

Pengacara AS ke Indonesia untuk negosiasi

Dengan kemungkinan pembayaran dan komisi yang sangat besar, perdebatan tentang strategi dan persaingan terbaik untuk klien pun sangat ketat.

Tujuh minggu setelah kecelakaan Lion Air JT 610 terjadi, ABC mengetahui bahwa tim pengacara dari firma hukum AS itu telah ke Indonesia untuk bernegosiasi dengan klien potensial.

Edwin memutuskan mendaftarkan kasusnya ke firma hukum lainnya, yaitu Wisner Law, yang selain siap menuntut Boeing, juga siap menuntut Lion Air dan Pemerintah Indonesia.

Direktur Wisner, Floyd Wisner, bahkan mengkritik keras Von Ribbeck atas praktik bisnis hukumnya.

Dia mengatakan janji pembayaran kompensasi 7 juta dolar hingga 14 juta dolar itu "jumlah yang jauh melampaui bayaran yang mungkin didapatkan".

"Sudah saya katakan, itu tidak mungkin," kata Wisner. "Saya ini pengacara penggugat. Saya ingin melakukannya, tapi sangat tidak mungkin. Orang-orang berduka akan menerima harapan apapun. Jika ada yang menjanjikan hal demikian, itu tidak bertanggung jawab," katanya.

 

Dia mengatakan tak ada kepastian bila seorang hakim akan membolehkan kasus ini disidangkan di AS. Hakim di AS, katanya, mungkin malah menolak gugatan terhadap Lion Air dan mengembalikannya ke Indonesia.

Artinya, pembayarannya akan jauh lebih rendah. Menurut Wisner, kerabat korban Lion Air harus diberitahu tentang kemungkinan ini.

Wisner mengatakan firma hukumnya telah menandatangani kontrak dengan lima kerabat korban.

Sementara Von Ribbeck berdalih tetap akan fokus mencapai hasil terbaik bagi keluarga para korban.

"Tidak ada alasan mengapa nyawa orang Indonesia harus dinilai lebih rendah daripada nyawa orang-orang di AS," katanya.

Ribbeck Law mengklaim telah mengajukan tuntutan hukum terhadap Boeing mewakili setidaknya 35 keluarga korban Lion Air.

Keluarga didekati sebelum korban dimakamkan

Wisner juga menuduh pengacara saingannya, termasuk Ribbeck, melanggar aturan AS yang melarang mendekati keluarga korban untuk mengajukan gugatan dalam waktu 45 hari pascakecelakaan udara.

"Menurut saya, itu merupakan pelanggaran," katanya. Dia menggambarkan kesibukan para pengacara ini mendekati keluarga korban sebagai "predator musibah".

Dia mengaku diminta segera datang ke Indonesia oleh koleganya namun bersikukuh tak akan datang sebelum 45 hari. "Saya tidak peduli jika tak mendapatkan klien," katanya.

Kepada ABC Australia, salah satu kerabat korban mengaku didekati oleh pengacara yang bekerja untuk Ribbeck Law tidak sampai seminggu setelah kecelakaan. Bahkan sebelum mayat anaknya dimakamkan.

Namun firma hukum Ribbeck Law menyangkal melakukan pelanggaran. Von Ribbeck, yang menjalankan firma hukumnya bersama saudaranya Monica Ribbeck, mengatakan aturan 45 hari hanya berlaku di AS.

Aturan itu juga, katanya, tidak melarang klien untuk menghubungi pengacara.

Namun Wisner mengaku ragu hakim di AS akan mempertimbangkan cara-cara yang ditempuh Von Ribbeck.

Ribbeck Law dituduh mendekati korban terlalu dini

 

Di tengah dilema yang dihadapi keluarga korban Lion Air JT610, Ribbeck Law menjadi sorotan terkait taktik yang mereka jalankan dalam kasus kecelakaan pesawat sebelumnya.

Ketika penerbangan Asiana Airlines 214 menabrak landasan pacu di San Francisco pada 2013, ada tiga orang meninggal dan 180 lainnya luka-luka.

Sejumlah penumpang melapor kepada Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS bahwa firma bertindak ilegal dalam meminta mereka jadi klien, meski tak ada catatan adanya tindakan yang dilakukan.

Monica Ribbeck juga pernah jadi sorotan karena melakukan pelanggaran perilaku setelah kecelakaan Turkish Airlines di Amsterdam pada tahun 2009.

Saat itu dia mengajukan gugatan atas nama penumpang yang terluka dan membebankan biaya kepada klien itu setahun setelah Monica dipecat sebagai pengacaranya.

Tahun lalu, pengadilan AS memerintahkan pengacara dari firma hukum Ribbeck Law membayar 105.400 dolar kepada Boeing karena berkali-kali mengajukan permintaan "temuan" terhadap Boeing.

Pengadilan menyatakan Ribbeck Law telah menyalahgunakan gugatan-gugatannya sebagai alat publikasi di website mereka.

Wisner menuduh Ribbeck Law "menjual" klien mereka ke dua perusahaan AS lainnya, Colson Hicks Eidson dan Bartlett Chen, dan bukannya muncul di pengadilan.

"Begitulah cara orang-orang ini menghasilkan uang," katanya.

"Mereka datang ke tempat kejadian persis setelah kecelakaan. Mereka mengejar keluarga korban, berusaha mendaftar mereka sebanyak mungkin lalu lepas begitu saja," katanya.

"Mereka lalu menyerahkannya ke perusahaan lain dan menunggu uang masuk," ujar Wisner.

ABC menghubungi Colson Hicks Eidson dan Bartlett Chen, tetapi kedua firma hukum ini tidak memberi jawaban.

Von Ribbeck mengaku bekerja saja dengan kedua firma hukum itu menggugat Lion Air. Ketiga perusahaan ini, katanya, terdaftar pada kasus yang diajukan di Chicago.

Von Ribbeck membantah semua tuduhan terhadap firma hukumnya sebagai "berita palsu yang tak perlu ditanggapi serius".

Dia mengancam akan menuntut pidana pencemaran nama baik terhadap ABC di Indonesia dan bersikukuh membela tindakan yang dilakukan perusahaannya.

Website Ribbeck Law menyebut firma hukum ini "Sangat teguh meningkatkan keselamatan penumpang internasional dan mencari keadilan" bagi para korban kecelakaan udara.

Von Ribbeck menunjuk satu kasus mengenai kecelakaan pesawat di Miami Beach. Dalam kasus ini dia menyebut "kami berhasil" karena memenangkan gugatan senilai "50 juta dolar untuk 11 penumpang dari Bahama dalam waktu singkat - 11 bulan".

Kompensasi nyawa orang Indonesia lebih kecil

Tidak banyak keluarga korban yang menerima tawaran kompensasi dari Lion Air. Karena mereka tahu akan kehilangan haknya untuk menggugat, begitu bersedia menerima kompensasi.

Firma hukum AS Kabateck, yang mewakili dua kerabat korban Lion Air, secara aktif berusaha mencegah para kerabat korban ini melepaskan haknya untuk menggugat.

Dia bahkan menuduh Lion Air memaksa para kerabat korban menandatangani pelepasan hak menggugat.

Kecelakaan udara sebelumnya menggambarkan perbedaan pembayaran kompensasi antara satu negara dengan negara lain dalam kasus kecelakaan pesawat. Dalam perbandingan itu, nyawa warga Indonesia dihargai sangat minim dalam kompensasi.

Firma hukum Inggris, Stewarts Law, memperkirakan bahwa pada 2015 penyelesaian kompensasi di AS rata-rata 6,3 juta dolar (Rp 91 miliar). Sementara di Indonesia rata-rata hanya 562.132 dolar (Rp 8,1 miliar).

Menurut James Healy-Pratt dari firma hukum ini, perbedaan tersebut antara lain berkaitan dengan yurisdiksi di mana kasus disidangkan dan perhitungan kerugian ekonomi.

"Nilai yang tidak merata atas hilangnya nyawa seseorang dari berbagai kewarganegaraan dalam kecelakaan udara selalu menjadi masalah yang perlu dijelaskan ke pihak keluarga," katanya.

Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa banyak kerabat korban Lion Air, cenderung mengabaikan tawaran maskapai tersebut dan memilih menjadi klien firma hukum seperti Ribbeck Law Chartered.

Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement