REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Militer Indonesia menampik tuduhan konyol telah menggunakan senjata kimia terlarang untuk menundukkan pasukan separatis di Papua Barat. Foto yang diterbitkan surat kabar mingguan di Australia, The Saturday Paper pada Jumat (21/12) menunjukkan seorang pria dengan luka menganga di kakinya dan luka bakar parah.
Laporan itu juga mengklaim luka-luka tersebut mungkin ditimbulkan oleh fosfor putih, sejenis bahan kimia pembakar yang tidak dapat dipadamkan dan menyebabkan cedera mengerikan. Dalam pernyataan yang diberikan kepada ABC oleh juru bicara Komando Militer Papua Kolonel Muhammad Aidi, Indonesia menolak laporan itu dan menyebutnya sebagai propaganda dan berita palsu.
"Orang-orang yang menulis propaganda itu adalah orang-orang yang konyol, dan bodoh," kata pernyataan itu.
Pernyataan itu juga mengatakan bom fosfor putih tidak dapat dibawa oleh helikopter yang membawa pasukan mereka dan harus ditembakkan dari puluhan atau ratusan kilometer jauhnya, atau dijatuhkan dari udara oleh seorang pengebom. Militer Indonesia (TNI) tidak mengoperasikan pesawat tempur, apalagi pengebom.
"Jika TNI menggunakan bom fosfor, Distrik Nduga akan musnah. Semua manusia dan hewan di sana juga akan musnah," tulis pernyataan itu.
"Propaganda murah ini sengaja diproduksi oleh KKSB (Kelompok Sipil Bersenjata) sebagai alat penyamaran yang disengaja, untuk mempengaruhi publik dengan tipuan dan propaganda, sehingga orang-orang akan melupakan fakta kelompok ini (telah menewaskan 28 warga sipil)," katanya.
Menurut lembar fakta dari Federasi Ilmuwan Amerika (FAS), fosfor putih digunakan dalam granat, mortir, dan peluru artileri untuk menandai sasaran, menyediakan asap, dan sebagai pembakar. Senjata pembakar, termasuk fosfor putih, dilarang untuk digunakan terhadap penduduk sipil di bawah Protokol III dari Konvensi Senjata Konvensional Tertentu Badan Perserikatan Bangsa-bangasa (PBB).
Dalam beberapa pekan terakhir, tentara Indonesia telah memburu pemberontak separatis yang dituduh membunuh sedikitnya 17 pekerja konstruksi, yang diserang ketika sedang membangun jalan melalui daerah terpencil Nduga. Militer Indonesia mengatakan operasi itu hanya bertujuan menemukan mayat pekerja yang terbunuh.
Gubernur Papua Lukas Enembe menyerukan diakhirinya operasi militer, dan mengatakan penindakan yang dilakukan ini sudah cukup. "Saya, sebagai Gubernur Papua, meminta Presiden Jokowi (Joko Widodo) menarik semua pasukan di Nduga," katanya.
Kepala polisi Indonesia di Papua, Inspektur Jenderal Martuani Sormin, mengatakan kepada ABC TNI dan polisi tidak menggunakan bom fosfor atau bom jenis apa pun. "Australia memiliki motif untuk membuat kesan buruk [Indonesia] di hadapan komunitas internasional," katanya.
Ketika ditanya apakah operasi keamanan akan ditunda selama Natal, seperti yang diminta oleh para pemimpin Papua, ia menjawab tidak ada yang bisa menghentikan tugas polisi dan TNI untuk menjaga dan mengamankan negara, termasuk di Mbua dan Nduga.
Dalam sebuah pernyataan yang dikirim melalui email, seorang juru bicara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengatakan Pemerintah Australia menyadari akan laporan kekerasan yang berlanjut di Nduga, termasuk tuduhan yang tidak diverifikasi mengenai penggunaan 'proyektil fosfor'.
"Pemerintah Australia mengutuk semua kekerasan di Papua, yang mempengaruhi warga sipil dan pihak berwenang sejenisnya. Kami terus memantau situasi, termasuk melalui misi diplomatik kami di Indonesia," kata juru bicara itu.
Simak beritanya dalam bahasa Inggris disini.