Rabu 26 Dec 2018 14:29 WIB

Liga Arab Siap Terima Kembali Suriah

Suriah kembali didekati untuk menjauhkan Assad dari pengaruh Iran.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Foto: Reuters
Presiden Suriah Bashar al-Assad.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Negara-negara Teluk siap menerima kembali Suriah di Liga Arab, delapan tahun setelah Damaskus diusir dari blok regional tersebut. Suriah keluar dari Liga Arab pada 2011 karena membungkam perbedaan pendapat dari oposisi, yang kemudian memicu pertumpahan darah hingga perang saudara.

Beberapa tahun lagi, Assad mungkin akan disambut ke atas panggung di antara para pemimpin dunia Arab. Bersama dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman dan otokrat baru Mesir Jenderal Abdel Fatah al-Sisi, momen itu akan menandai kematian Arab Spring.

Pekan ini, Presiden Sudan, Omar al-Bashir, menjadi pemimpin Liga Arab pertama yang mengunjungi Suriah dalam delapan tahun terakhir. Kunjungan itu secara luas ditafsirkan sebagai isyarat persahabatan atas nama Arab Saudi, yang telah membangun hubungan baik dengan Sudan dalam beberapa tahun terakhir.

Media-media pro-pemerintah memposting foto-foto Bashir dan Assad sedang berjabat tangan dan menggenggam satu sama lain di atas karpet merah. Saat itu Bashir baru keluar dari jet Rusia yang mengangkutnya ke Damaskus.

Sumber-sumber diplomatik mengatakan kepada The Guardian, ada konsensus yang berkembang di antara 22 anggota Liga Arab bahwa Suriah harus diterima kembali. Meski demikian, AS telah menekan Riyadh dan Kairo untuk menundanya dan menuntut pemungutan suara dari anggota liga.

Langkah itu tetap dilakukan meski hubungan Assad dengan Iran masih cukup dekat. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) yang merangkul kembali Suriah dinilai sebagai strategi baru yang bertujuan untuk menjauhkan Assad dari pengaruh Teheran, terutama terkait rekonstruksi pascaperang.

Diperkirakan sekitar 400 miliar dolar AS diperlukan untuk membangun kembali negara itu. Namun, PBB akan menolak untuk memberikan bantuan sampai Assad terlibat dalam proses perdamaian PBB.

"Para pemimpin Arab di Teluk telah lama menyetujui gagasan Bashar al-Assad untuk tetap bertahan dalam kekuasaannya. Pada akhirnya, dalam skema besar revolusi regional dan kontra-revolusi, Assad adalah salah satunya, seorang otokrat Arab yang berjuang melawan apa yang para pemimpin Emirat dan Mesir anggap sebagai kekuatan revolusioner dan Islam subversif seperti Ikhwanul Muslimin," kata Tobias Schneider, peneliti di Global Public Policy Institute Berlin, dikutip The Guardian.

"Assad akan memancing secara pragmatis sebanyak mungkin ambisi kekuatan regional ... Langkah-langkah tambahan menuju normalisasi tanpa mempertaruhkan kelangsungan hidupnya sendiri dalam pertarungan baru persaingan regional," kata Schneider.

Assad mengatakan kepada surat kabar Kuwait pada Oktober lalu, Suriah telah mencapai pemahaman besar dengan negara-negara Arab setelah bertahun-tahun dalam permusuhan. Menteri luar negerinya, Walid al-Muallem, terlihat dengan hangat menjabat tangan Menteri Luar Negeri Bahrain, Khalid bin Ahmed al-Khalifa, di sela-sela sidang umum PBB awal tahun ini.

"Apa yang terjadi di Suriah lebih memprihatinkan kami daripada siapa pun di dunia. Suriah adalah negara Arab. Tidak benar urusannya ditangani oleh pemain regional dan internasional jika kami tidak ada,” kata Khalifa kepada wartawan.

Kembalinya Suriah ke Liga Arab didukung oleh Parlemen Arab awal bulan ini dan didorong oleh desas-desus tentang pembukaan kembali Kedutaan Besar UEA di Damaskus. Para pengamat yakin hal itu akan berfungsi sebagai awal untuk tawaran diplomatik Saudi.

Sebuah sumber mengatakan petugas kebersihan, dekorator, dan petugas lainnya baru-baru ini terlihat memasuki gedung kedutaan yang ditutup karena relasinya terputus pada 2011 itu. Kawat berduri dan penghalang beton di bagian depan bangunan juga telah dihilangkan.

Yordania telah membuka kembali penyeberangan perbatasan selatan, Israel bekerja dengan Rusia untuk mengurangi ketegangan di Dataran Tinggi Golan yang disengketakan. Bahkan Turki telah berjanji akan bekerja dengan Assad jika dia kembali menjadi presiden Suriah dalam pemilu yang bebas dan adil.

Namun, bagi Barat, Suriah mungkin akan tetap menjadi negara paria. “Tentu saja selalu ada pertanyaan tentang berapa lama isolasi internasional berlangsung dan dalam cara apa isolasi itu bisa mulai terbuka. Itu mungkin akan dimulai di kawasan itu," kata seorang diplomat Eropa.

“Namun, posisi kami tetap teguh. Belum ada proses penyelesaian yang kredibel dan asli yang sedang berlangsung di Suriah, jadi pada dasarnya masih belum ada insentif untuk rekonsiliasi dengan rezim itu," kata dia.

Assad mungkin tidak lagi peduli. Cakrawala politiknya telah diamankan oleh Iran dan Rusia, dan sekarang negara-negara tetangganya menuntut untuk memulihkan pengaruh yang hilang. Sisa-sisa oposisi politik Suriah telah menempel pada permintaan mereka agar rezim terlibat dengan proses perdamaian yang disponsori PBB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement