REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Utara (Korut) Kim Jong Un mengatakan, bahwa dirinya siap bertemu kapan saja dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk membahas denuklirisasi Semenanjung Korea. Kim juga menegaskan akan menggunakan langkah alternatif lain jika sanksi dan tekanan AS terhadap Korut terus berlanjut.
Dalam pidatonya di Tahun Baru 2019, Kim kembali menegaskan bahwa denuklirisasi merupakan keinginan kuatnya. Dalam hal ini, ia juga menyarankan untuk pertama kalinya Korut tidak akan lagi memproduksi senjata nuklir. Meski demikan, Kim mendesak Washington untuk mengambil tindakan untuk mempercepat proses diplomatik antar-kedua negara.
"Korut kemungkinan membuat langkah baru mempertahankan kedaulatan jika AS tetap berusaha memaksakan sesuatu kepada kita secara sepihak," kata Kim dalam pidatonya yang disiarkan secara nasional seperti dikutip Reuters, Selasa (1/1).
Komentar itupun dinilai akan memicu keraguan yang tumbuh soal apakah Pyongyang berniat untuk melepaskan program senjata nuklir atau tidak. Hingga pidato Kim tersebar luas, belum ada reaksi langsung dari Kementerian Luar Negeri AS. Namun kantor kepresidenan Korea Selatan (Korsel) menyambut pidato Kim. Korsel mengatakan, pidatonya menunjukkan kemauan keras Kim untuk memajukan hubungan dengan Seoul dan Washington.
Kim dan Trump telah berjanji menuju denuklirisasi serta membangun perdamaian yang bertahan dan stabil pada pertemuan puncak penting mereka di Singapura Juni 2018. Kendati demikian, sejak saat itu hanya sedikit kemajuan yang dicapai.
Pyongyang menuntut Washington mencabut sanksi dan mengumumkan penghentian resmi Perang Korea 1950-53 sebagai tanggapan atas langkah-langkah awal unilateral menuju denuklirisasi. Hal itu termasuk membongkar satu-satunya tempat pengujian nuklir dan fasilitas mesin rudal utama.
"Langkah-langkah tersebut pun sejalan dengan tekadnya untuk tidak lagi membuat, menggunakan atau menyebarkan senjata nuklir," kata Kim.
Pejabat AS mengatakan, langkah-langkah awal itu tidak dikonfirmasi oleh pihak AS sehingga dapat dengan mudah dibalik. AS menyerukan penegakan sanksi tegas terhadap negara hingga perlucutan senjata sepenuhnya dapat diverifikasi. Washington sebelumnya telah menghentikan beberapa latihan militer skala besar dengan Seoul untuk membantu negosiasi nuklir, meski latihan yang lebih kecil berlanjut.
Kim pun menyerukan Korsel untuk sepenuhnya menghentikan latihan militer bersama dengan AS yang melibatkan aset strategis. Sementara, negosiasi multilateral di antara negara-negara yang terlibat dalam perjanjian gencatan senjata harus diupayakan untuk membangun rezim perdamaian permanen, dilakukan.
Kedua Korea secara teknis tetap berperang sebab konflik berakhir dengan gencatan senjata yang ditandatangani oleh Korea Utara, Amerika Serikat dan Cina, bukan merupakan perjanjian damai.
"Sekarang Korea Utara dan Selatan memutuskan untuk mengambil jalur perdamaian dan kemakmuran, kami menuntut agar latihan militer bersama dengan pasukan luar tidak lagi diizinkan dan penyebaran peralatan perang seperti aset strategis asing harus sepenuhnya dihentikan," kata Kim.
Analis mengatakan, pesan Kim itu mengirim sinyal yang jelas bahwa Korut bersedia untuk tetap dalam pembicaraan dengan Washington dan Seoul tahun ini, namun dengan persyaratan tersendiri.
"Korut tampaknya bertekad pada 2019 menerima semacam bantuan sanksi. Namun, tantangan-nya, apakah Tim Trump bersedia mundur dari posisi bebas sanksi sanksi?," ujar Harry Kazianis dari Center for the National Interest yang berbasis di Washington.
"Pernyataan Kim sepertinya menunjukkan bahwa kesabarannya dengan Amerika semakin tipis," kata Kazianis.