REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden Cina Xi Jinping mengatakan, negara yang dipimpimnya akan tetap menggunakan kekuatan militer dalam membawa kendali Taiwan guna mencapai penyatuan kembali pulau yang dinilai membangkang itu. Xi menyatakan bahwa di bawah kepemimpinan pemerintah Cina, Taiwan akan memiliki masa depan yang cerah.
Sejak masa Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokrati pada 2016, Presiden Xi telah meningkatkan tekanan kepada pulau yang menjadi masalah paling sensitif bagi Beijing ini. "Kami tidak bisa berjanji tidak akan menggunakan kekuatan (militer). Beijing mempertimbangkan semua opsi dan langkah terhadap kekuatan asing yang mengintervensi reunifikasi damai dan aktivitas separatisme kemerdekaan Taiwan," ujar Xi, seperti dikutip dari kantor berita Reuters, Rabu (2/1).
Pernyataan tersebut disampaikan Xi dalam sebuah pidato peringatan 40 tahun pesan dari Cina kepada Taiwan pada 1979. Kala itu, Cina menyerukan kepada reunifikasi dan diakhirinya konfrontasi militer terhadap Taiwan.
Xi menyebut unifikasi melalui pendekatan "Satu Negara, Satu Sistem" akan melindungi kepentingan dan kesejahteraan warga Taiwan. "Cina harus dan akan bersatu, yang merupakan keharusan dalam kebangkitan rakyat di era baru," ungkap Xi.
Xi mengatakan, sebagian besar orang Taiwan jelas menyadari kemerdekaan Taiwan akan mengarah malah pada "bencana besar".
"Cina tidak akan menyerang orang-orang Cina juga. Kami bersedia menggunakan ketulusan terbesar dan menghabiskan kerja keras terbaik untuk berjuang demi prospek penyatuan kembali dengan Taiwan secara damai," kata Xi.
Hal ini, bagaimanapun, kata Xi ditujukan pada pasukan asing yang berusaha masuk pada minoritas kecil pasukan kemerdekaan Taiwan. Meski, Xi tidak merujuk pada Amerika Serikat (AS) yang merupakan pendukung terkuat Taiwan.
Meski demikian, belum ada reaksi langsung dari pemerintah Taiwan menyoal pidato terbaru Xi ini. Xi juga menegaskan Cina bersedia berbicara dengan pihak mana pun di Taiwan untuk mendorong proses politik asal Taiwan menerima prinsip "satu Cina". Sebelumnya pembicaraan politik Cina dan Taiwan terhenti sejak Presiden Tsai menjabat.
Presiden Xi juga meyakinkan masyarakat di Taiwan agar tidak khawatir ataupun takut dengan pemerintahan Beijing, meskipun kebanyakan masyarakat Taiwan tidak menaruh minat jika pemerintahan dijalankan oleh Beijing yang otokratis.
"Setelah penyatuan kembali secara damai, Taiwan akan memiliki kedamaian abadi dan rakyat akan menikmati kehidupan yang baik dan sejahtera," ujar Xi.
"Dengan dukungan ibu pertiwi yang hebat, kesejahteraan rekan senegaranya Taiwan akan menjadi lebih baik, ruang pengembangan mereka juga akan lebih besar," tambah Xi.
Sementara Presiden Tsai mengingatkan, bahwa rakyatnya tidak akan menyerah dalam mencapai kemerdekaan pulaunya sendiri. Menurutnya, kemerdekaan tidak dirasakan masyarakat di pulau utama.
Presiden Tsai menambahkan, Cina harus menghormati keinginan 23 juta rakyat yang menginginkan kebebasan dan demokrasi di Taiwan. Tsai pun menyerukan kepada Cina untuk menggunakan cara-cara damai dalam menyelesaikan perbedaan pandangan.
Negeri Tirai Bambu masih memandang Taiwan sebagai bagian dari negara yang akan direunifikasi. Meski pemerintah dua kubu sudah berjalan sendiri sejak berakhirnya perang sipil di pulau utama Cina pada 1949 silam.
Taiwan mengklaim sebagai negara berdaulat, dengan mata uang, sistem politik dan yudisial sendiri. Namun hingga kini Taiwan belum secara formal mendeklarasikan kemerdekaan dari pulau utama Cina.
Sejak itu, Beijing telah secara teratur mengirim pesawat dan kapal militer untuk mengelilingi pulau dengan latihan dalam beberapa tahun terakhir. Cina juha telah menekan pulau itu secara internasional, termasuk mengurangi jumlah sekutu diplomatik yang tersisa.