REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pertempuran antara Arakan Army dan tentara Myanmar telah menyebabkan sekitar 2.500 orang Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine. Hal tersebut diungkapkan juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Farhan Haq, Rabu (2/12).
Haq mengatakan, pertempuran antara Arakan Army dan tentara Myanmar telah berlangsung sejak awal Desember 2018. Pertempuran itu memaksa penduduk Rohingya di sana melarikan diri dan mengungsi.
Seperti dikutip laman Anadolu Agency, menurut Haq, PBB telah mengirim tim untuk menyelidiki pertempuran tersebut. Selain itu, PBB juga akan berupaya memasok kebutuhan untuk para Rohingya yang mengungsi dari Rakhine.
Baca juga, Puluhan Pengungsi Rohingya Masuk Aceh.
Arakan Army adalah satu dari beberapa kelompok bersenjata di Rakhine yang memerangi tentara Myanmar. Mereka menginginkan lebih banyak otonomi bagi etnis minoritas di wilayah tersebut.
Bulan lalu, militer Myanmar telah mengumumkan tentang penghentian pertempuran selama empat bulan di Rakhine. Langkah itu cukup jarang dilakukan mengingat kebrutalan yang pernah dilakukan tentara Myanmar ketika memburu anggota kelompok bersenjata di sana.
Rakhine memang dihuni oleh beberapa etnis minoritas Myanmar, salah satunya adalah Rohingya. Pada Agustus 2017, militer telah menggelar operasi pemburuan terhadap milisi Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Namun dalam operasi tersebut, masyarakat sipil Rohingya turut diserang dan dihabisi para tentara Myanmar. Permukiman mereka pun dibakar. Setelah kejadian itu, lebih dari setengah juta Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh.
Saat ini, setelah melalui proses cukup panjang, Myanmar dan Bangladesh telah memulai proses repatriasi para pengungsi. Namun PBB dan sejumlah negara masih melayangkan kritik kepada Myanmar dan meminta proses repatriasi dihentikan.
Alasannya adalah karena PBB menilai repatriasi belum dilakukan atas dasar sukarela. Selain itu, situasi dan kondisi di Rakhine belum sepenuhnya kondusif.