Sejumlah tokoh bisnis utama Australia memperingatkan penduduk Australia berpenghasilan rendah dan menengah akan semakin sulit mendapatkan pendanaan untuk perumahan di bawah standar pinjaman yang lebih ketat.
Mereka juga mengingatkan kondisi ini dapat semakin melemahkan perekonomian Australia pada 2019.
Kepala eksekutif dan direktur dari sejumlah perusahaan top Australia menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap langkah pengetatan standar pinjaman lebih lanjut ini seiring dengan akan terbitnya laporan akhir dari komisi kerajaan perbankan yang akan dirilis pada bulan Februari mendatang.
Regulator APRA dan ASIC memperkenalkan standar yang lebih ketat tahun lalu, yang telah menyebabkan bank menerapkan proses penyaringan yang lebih ketat untuk aplikasi pinjaman, dan mengakibatkan pembeli rumah pertama merasa sangat sulit untuk mendapatkan pendanaan.
Para pemimpin bisnis, termasuk mereka yang bekerja untuk empat bank besar, telah memperingatkan para pembuat kebijakan agar tidak membuat perubahan lebih lanjut yang membatasi pemberian pinjaman kepada warga Australia.
Ketua Westpac Lindsay Maxsted mengatakan bank masih melihat permintaan yang kuat untuk kredit, dan akan terus mengucurkan pinjaman sepanjang 2019.
Warga berpenghasilan rendah bisa terpukul
Menyadari pasar perumahan yang terus melemah, APRA bulan lalu menghapuskan aturan pembatasan 30 persen pada hanya bunga pinjaman.
Tetapi para ahli mempertanyakan apakah penghapusan batasan pinjaman ini akan membantu menghidupkan kembali kredit dan membalikkan merosotnya harga rumah yang sempat terjadi di beberapa kota utama di ibu kota negara bagian.
"Perubahan terbesar akan berlaku pada pinjaman yang bertanggung jawab," kata Maxsted.
"Proses kami melambat - karena kami harus melakukan lebih banyak penyelidikan dan memeriksa lebih banyak - tetapi itu tidak berarti keinginan kami mengucurkan kredit menurun."
Namun dia mengaku khawatir perubahan itu akan berdampak lebih jauh pada mereka yang berada dalam spektrum pendapatan menengah ke bawah, termasuk pembeli rumah pertama.
"Kesulitan yang terjadi sekarang ini adalah penekanan yang berlebihan pada pinjaman yang bertanggung jawab," katanya.
Dia menambahkan bahwa bank harus memastikan mereka meminjamkan secara bertanggung jawab, dan kepada orang-orang yang mampu membayar utang.
"Tetapi apa yang harus Anda lakukan untuk membuktikan bahwa Anda adalah pemberi pinjaman yang bertanggung jawab adalah poin yang bisa diperdebatkan," katanya.
"Dan semakin banyak kita membahas secara spesifik, 'Saya harus memeriksa pengeluaran Anda selama empat atau lima tahun terakhir, saya harus melakukan ini, itu dan hal lainnya', maka itu memperlambat proses.
"Itu sudah terjadi dalam arti butuh waktu lebih lama bagi orang untuk melewati proses penyelidikan itu, dan beberapa orang tidak bisa melewati jaring yang mungkin mereka bisa lewati sebelumnya."
Dia mengatakan sementara pengetatan itu positif dalam hal menghentikan orang-orang yang tidak memiliki kapasitas untuk membayar kembali kredit, "itu menjadi hal yang buruk jika dialami pada banyak orang - orang muda, pasangan yang baru saja memulai hidup dan merekatidak memiliki deposit dalam jumlah yang sebenarnya jika mereka tidak ada disituasi itu mungkin mereka mampu memiliknya".
"Jika pinjaman yang bertanggung jawab justru malah membawa mereka keluar dari pasar, itu adalah hal yang buruk."
Menurutnya ini adalah risiko terbesar bagi perekonomian pada 2019.
"Kami tidak perlu [menghadapi ini] sebagai dampak dari rekomendasi Hayne atau sebaliknya bekerja keras di sektor peminjaman yang bertanggung jawab jika itu malah akan memunculkan pengambilan keputusan yang buruk terkait kredit perumahan," katanya.
Simak berita lengkapnya dalam bahasa Inggris disini.
Ikuti berita-berita lainnya dari situs ABC Indonesia.