REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Dalam sebuah jajak pendapat pada Kamis (3/1) menunjukkan tiga perempat rakyat Prancis tidak menyukai pemerintahan Presiden Emmanuel Macron. Ketidaksukaan ini sebagian besar didorong oleh meningkatnya biaya hidup rumah tangga.
Gelombang demonstrasi 'rompi kuning' selama dua bulan terakhir telah mengguncang pemerintahan Macron. Memaksanya untuk membatalkan kebijakan untuk menaikkan pajak bensin demi menghindari kemarahan rakyat Prancis karena meningkatkan daya beli rumah tangga.
Sejak itu Macron yang menghadapi masa tersulit selama pemerintahannya berjanji untuk melakukan reformasi di berbagai bidang. Hal itu seperti menyelesaikan isu tunjangan pensiun atau merombak pelayanan sipil.
Dalam jajak pendapat yang digelar Odoxa dan Dentsu Consulting untuk franceinfo dan surat kabar Figaro hanya sebanyak 25 persen rakyat Prancis yang mengaku puas dengan pemerintahan Macron yang mulai berkuasa pada pertengahan 2017 lalu. Jajak pendapat itu dilakukan oleh 1.004 koresponden dan dilakukan pada tanggal 2 dan 3 Januari.
Hasilnya sangat berbeda dengan jajak pendapat yang dilakukan pada bulan April 2018 lalu. Di mana, ada sebanyak 59 persen rakyat Prancis yang merasa tidak puas dengan pemerintah mereka.
Jajak pendapat kali ini menunjukan sebanyak 75 persen rakyat Prancis yang tidak puas dengan pemerintahan Macron. Sebanyak 54 persen rakyat Prancis berpendapat prioritas yang harus dilakukan pemerintah mereka adalah meningkatkan daya beli.
Mengurangi angka pengangguran yang sebelumnya diharapkan menjadi prioritas pertama turun menjadi prioritas keempat. Jajak pendapat kali ini juga menunjukkan dukungan demonstrasi rompi kuning telah menurun.
Jumlah rakyat Prancis yang mendukung demonstrasi rompi kuning yang telah menghancurkan sebagian kota Paris dan kota-kota lainnya telah menurun. Terutama setelah Macron berhasil memberikan tuntutan para demonstran.
Sebanyak 55 persen koresponden menyatakan demonstrasi rompi kuning tersebut harus dilanjutkan. Naik satu persen dibandingkan jajak pendapat pada 11 Desember lalu di mana 54 persen mengatakan protes tersebut harus dilakukan. Tapi jauh lebih rendah dibandingkan jajak pendapat pada 22 November 2018 lalu ketika demonstrasi itu mulai meluas.