REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton telah memperingatkan Pemerintah Suriah agar tidak menjadikan momen penarikan militer AS dari negara itu sebagai kesempatan untuk menggunakan senjata kimia. Peringatan tersebut disampaikan ketika Bolton memulai perjalanan empat hari ke Israel dan Turki untuk membahas mengenai penarikan pasukan AS, pada Sabtu (5/1).
Langkah yang diumumkan sebelum Natal itu pada awalnya diperkirakan akan selesai dalam beberapa pekan. Namun jadwalnya melambat setelah Presiden AS Donald Trump menyetujui permintaan dari para penasihat, sekutu, dan anggota Kongres untuk melakukan penarikan pasukan yang lebih tertib.
"Sama sekali tidak ada perubahan dalam posisi AS terhadap penggunaan senjata kimia oleh rezim Suriah dan sama sekali tidak ada perubahan dalam posisi kami bahwa setiap penggunaan senjata kimia akan dibalas oleh respons yang sangat kuat, seperti yang telah kami lakukan dua kali sebelumnya," ujar Bolton kepada wartawan di pesawatnya sesaat sebelum mendarat di Tel Aviv.
"Kami telah mencoba dua kali melalui penggunaan kekuatan militer untuk menunjukkan kepada rezim Assad bahwa penggunaan senjata kimia tidak dapat diterima. Dan jika mereka tidak mengindahkan pelajaran dari dua serangan itu, maka serangan yang berikutnya akan lebih jelas," kata dia.
Trump telah dua kali membom Suriah atas dugaan penggunaan senjata kimia oleh pemerintahnya pada April 2017 dan april 2018. Pada September, seorang pejabat senior AS mengatakan ada bukti yang menunjukkan senjata kimia telah disiapkan oleh pasukan Pemerintah Suriah di Idlib.
Selama perjalanannya, Bolton akan bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Para pejabat Israel berpendapat, penarikan cepat sekitar 2.000 tentara AS dari Suriah dapat memungkinkan Iran untuk memperluas pengaruh dan kehadirannya di negara itu.
"Ada kekhawatiran besar di antara sekutu AS di kawasan itu tentang apa langkah selanjutnya," kata Yossi Mekelberg, profesor hubungan internasional di Regent's University London.
"Pesan pemerintahan Trump benar-benar tidak jelas. Di satu sisi, pemerintahan Trump berbicara tentang lebih banyak tekanan pada Iran mengenai masalah nuklir. Tetapi penarikan pasukannya justru membuat Suriah terbuka untuk Rusia dan Iran," papar dia kepada Aljazirah.
Menurut Mekelberg, Israel sangat khawatir karena Iran diyakini telah memasok senjata ke kelompok Hizbullah Lebanon melalui Suriah. Ia mencatat, militer Israel bahkan telah melancarkan operasi militer pada Desember lalu untuk menghancurkan terowongan lintas-perbatasan yang digali oleh kelompok Syiah itu untuk mengirim para militan ke Israel.
Sementara itu, langkah Trump juga menimbulkan kekhawatiran tentang serangan Turki terhadap militan Kurdi di Suriah, People's Protection Units (YPG). YPG telah berperang bersama pasukan Amerika dalam melawan ISIS.
Turki menganggap (YPG) sebagai kelompok teroris yang terkait dengan Kurdistan Workers Party (PKK), yang terlarang di negaranya. "Yang teratas dalam daftar Turki adalah perlucutan senjata para militan YPG Kurdi," kata Mohammed Adow, kontributor Aljazirah, yang melaporkan dari Gaziantep di perbatasan Turki dengan Suriah.
"Turki ingin mereka dilucuti dan dipindahkan dari daerah dekat perbatasannya dengan Suriah. Turki juga menginginkan adanya dukungan logistik dan udara dari AS, begitu penarikan pasukan selesai. Para pejabat Turki ingin John Bolton memberi tahun jadwal yang jelas terkait penarikan pasukan AS," ungkapnya.
Menteri Luar Negeri as Mike Pompeo mengikuti Bolton ke Timur Tengah pekan ini untuk lawatan ke delapan negara sekutu Arab guna menopang dukungan bagi para mitra pemerintahan di wilayah tersebut.