REPUBLIKA.CO.ID, JERICHO— Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada Ahad (6/1) mengutuk kunjungan pejabat senior AS ke kota tua Yerusalem, yang diduduki Israel, dengan disertai pejabat Yahudi.
Sekretaris Jenderal PLO, Saeb Erekat, mengatakan dalam satu pernyataan, kunjungan Penasehat Keamanan Nasional AS John Bolton dan Duta Besar AS untuk Israel David Friedman, dengan ditemani beberapa pejabat Israel adalah pelanggaran atas resolusi dan hukum internasional.
Hukum internasional menganggap Yerusalem sebagai wilayah yang diduduki. AS pada Desember 2017 mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Tindakan ini melanggar semua norma internasional.
Erekat mengatakan tindakan semacam itu oleh AS mengakibatkan kekacauan, kerusuhan, dan hilangnya hukum.
“Perbuatan tersebut tidak mengubah fakta masa lalu, saat ini dan masa depan bahwa Yerusalem, dengan kota yuanya, akan selalu menjadi ibu kota abadi Palestina,” kata dia seperti dilansir Kantor Berita Palestina, WAFA, Senin (7/1).
Pasukan pendudukan Israel pada Ahad (6/1) malam menutup jalan masuk ke Desa Beit Fajjar, di sebelah selatan Bethlehem di wilayah pendudukan Tepi Barat Sungai Yordania. Mereka melarang orang Palestina masuk-keluar desa tersebut, menurut beberapa saksi mata.
Sementara itu, pasukan keamanan Israel menutup dengan penghalang besi jalan regional di dekat Kota Kecil Sa'ir di sebelah utara al-Khalil (Hebron) di bagian selatan Tepi Barat, dan tak mengizinkan kendaraan orang Palestina memasuki wilayah tersebut.
Penuturan beberapa sumber keamanan Palestina, penutupan jalan itu memaksa warga Palestina setempat menggunakan jalan alternatif yang lebih jauh untuk sampai ke rumah mereka di beberapa desa dan kota kecil di daerah tersebut.
Menurut kelompok hak asasi manusia, pembatasan gerakan telah menjadi salah satu alat utama yang diterapkan Israel untuk memaksakan rezim pendudukannya atas penduduk Palestina di wilayah yang diduduki.
"Kebebasan bergerak orang Palestina di wilayah yang diduduki sepenuhnya berada pada kehendak negara, instruksi yang diberikan kepada tentara di Kantor Koordinasi Kabupaten lokal, dan cara mereka melaksanakannya," kata B'Tselem, satu kelompok hak asasi manusia Israel, di dalam satu laporan.
"Kondisi keadaan ini memaksa rakyat Palestina untuk hidup dalam ketidak-pastian terus-menerus, sehingga membuat mereka kesulitan untuk membuat rencana dan melaksanakan tugas sederhana," kata lembaga tersebut.