Kamis 10 Jan 2019 00:02 WIB

Rakhine Myanmar Kembali Memanas, Warga Mengungsi

Pertempuran antara Arakan Army dan militer Myanmar telah terjadi sejak Desember 2018.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI DAW -- Situasi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, kembali memanas dalam dua bulan terakhir. Sekitar 4.500 warga sipil di daerah tersebut dilaporkan telah mengungsi menyusul terjadinya pertempuran antara Arakan Army dan militer Myanmar. 

Pertempuran antara Arakan Army dan militer Myanmar telah terjadi sejak Desember tahun lalu. Arakan Army adalah salah satu kelompok milisi bersenjata di Rakhine yang menuntut otonomi lebih untuk etnis minoritas di daerah tersebut. 

Baca Juga

Serangan sporadis dengan membidik aparat keamanan Myanmar telah dilancarkan Arakan Army. Aksi penyerangan terbaru terjadi pada 4 Januari lalu, yakni ketika Myanmar memperingati hari kemerdekaannya. 

Empat pos polisi di kota Buthidaung, Rakhine, menjadi target serangan Arakan Army. Sebanyak 13 polisi tewas dan sembilan lainnya luka-luka akibat serangan tersebut. 

Sejumlah jurnalis dari Radio Free Asia, Voice of America, Democratic Voice of Burma, Mizzima, dan the Myanmar Times, sempat melakukan kunjungan ke lokasi kejadian. Mereka didampingi langsung oleh Kepala Kepolisian Myanmar Jenderal Aung Win Oo dan Wakil Menteri Kantor Penasihat Negara Khin Maung Tin. 

Salah satu polisi yang menyaksikan serangan Arakan Army pada 4 Januari menceritakan tentang kronologis peristiwa. Dia mengungkapkan, sebelum serangan terjadi, anjing-anjing yang berada di posnya telah menggonggong. 

Tak lama berselang, pos itu pun diberondong peluru. "Mereka melepaskan tembakan dengan senjata berat dan kami merespons dengan senjata berat," katanya, dikutip laman Radio Free Asia. 

"Kami terlibat dalam pertahanan selama tiga jam karena mereka memiliki lebih  banyak pasukan dan senjata yang lebih baik. Kami sangat takut karena kami tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya," kata dia. 

Kantor Presiden Win Myint telah memerintahkan militer Myanmar untuk melakukan pemburuan terhadap anggota Arakan Army. Ia menginginkan agar kelompok bersenjata itu ditumpas. 

Pada konferensi pers Senin lalu, juru bicara Kantor Presiden Zaw Htay menuding Arakan Army memiliki hubungan dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). ARSA adalah kelompok bersenjata yang melancarkan serangan terhadap 30 pos polisi dan sebuah pangkalan militer di Rakhine pada Agustus 2017. 

Setelah serangan tersebut, militer Myanmar menggelar operasi "pembersihan" di Rakhine dan menyebabkan lebih dari 725 ribu warga sipil Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Hal itu kemudian memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Bertolak dari peristiwa tersebut, Zaw Htay menyerukan warga etnis Rakhine agar tidak mendukung kelompok milisi atau pemberontak. "Pertimbangkan masa depan Rakhine secara mendalam. Pikirkan baik-baik tentang masa depan yang ingin kalian lihat sebelum memberi mereka dukunganmu," katanya. 

Kendati demikian, Arakan Army telah membantah memiliki hubungan dengan ARSA. Dalam sebuah pernyataan di situsnya, Arakan Army menyebut pernyataan Zaw Htay tidak tepat. Mereka menilai Zaw Htay berupaya membangkitkan kesalahpahaman antara sekutu kelompok militer Arakan dan basis dukungan etnis Rakhine. 

Terlepas dari hal tersebut, eskalasi di Rakhine telah menyebabkan sekitar 4.500 warga sipil di sana mengungsi. Mereka bersembunyi di biara-biara dan kamp-kamp sementara karena takut akan menjadi korban pertempuran Arakan Army dengan militer Myanmar. 

Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Farhan Haq menyebut, sekitar 2.500 orang Rohingya juga telah mengungsi dari Rakhine barat. Mereka khawatir akan kembali menjadi korban dari keganasan militer Myanmar seperti Agustus 2017. 

"Pertempuran sengit terjadi antara pasukan pemerintah dan Arakan Army di dalam Myanmar. Situasinya sangat tegang," kata seorang tokoh Rohingya Dil Mohammad, dikutip laman Aljazirah. 

Saat ini Dil beserta para pengungsi Rohingya lainnya berlindung di daerah perbatasan Myanmar dengan Bangladesh. Pemimpin komunitas pengungsi Rohingya, Nur Alam mengungkapkan, saat malam tiba letupan tembakan sering terdengar di sisi lain perbatasan. 

Menurutnya, setiap malam suara letupan senjata api itu kian mendekat ke tempat pengungsiannya. "Penjaga perbatasan Myanmar telah mendirikan 10 pos baru di dekat kamp kami. Ini sangat menakutkan," ujar Nur. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement