REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhammad Iqbal mengatakan para orang tua mahasiswa Indonesia yang diduga mengalami kerja paksa di Taiwan sudah bertemu dengan Kementerian Luar Negeri. Para orang tua itu didampingi anggota DPRD Bangka Belitung.
"Ini terjadi karena ada Pemda yang membuat kerja sama bilateral universitas langsung, dengan pihak ketiga bahkan, di Taiwan tanpa berkonsultasi dengan pemerintah pusat," kata Iqbal, Rabu (9/1).
Para orang tua itu ingin mencari informasi tentang kondisi anak mereka di Taiwan. Iqbal mengatakan karena kerja sama Pemerintah Bangka Belitung ini tidak diketahui pemerintah pusat, maka keberadaan mahasiswa yang terlibat dalam kerja sama itu sulit diawasi.
"Kemungkinan masalahnya muncul di situ, tapi kami masih dalami," tambah Iqbal.
Iqbal mengatakan saat ini Kemenlu masih mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang tuduhan kerja paksa tersebut. Sebab, informasinya sampai saat ini belum utuh. Kini Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia untuk Taipei (KDEI Taipei) di Taiwan masih terus mendalami kasus tersebut.
"Siapa pun WNI yang ada di sana harus terlindungi siapa pun, mahasiswa, TKI ada mekanismenya," kata Iqbal.
Kabar tentang ada ratusan kerja paksa mahasiswa asal Asia Tenggara ini pertama kali dikatakan oleh anggota legislatif Taiwan Ko Chih-en pada 27 Desember lalu. Ko mengatakan kebijakan New Southbound Policy yang dikeluarkan pemerintah Taiwan telah mengelabui ratusan mahasiswa Asian Tenggara untuk dipaksa bekerja di pabrik-pabrik negara tersebut.
"Mereka harus berdiri selama sepuluh jam dan mengemasi 30 ribu lensa kontak per hari," kata Ko seperti dilansir dari Teipei Times.
Ko mengatakan ketika para mahasiswa itu melaporkan kerja paksa yang mereka alami ke kampus mereka, kampus-kampus di Taiwan justru meminta para mahasiswa bekerja di pabrik tersebut agar perusahaan/pabrik itu membantu universitas mereka.
Ko mengatakan para mahasiswa itu tinggal di permukiman kumuh di Hsinchu, yang terletak di dekat tempat mereka bekerja. "Dalam dua hari sekali mereka harus bangun pukul 5 pagi untuk mengejar bus menuju sekolah mereka di Linkou dan pulang pukul 6 sore," kata Ko.