REPUBLIKA.CO.ID, CARACCAS -- Venezuela bergejolak pada Senin (21/1) waktu setempat. Kelompok tentara yang mengaku sebagai anggota pasukan bersenta Venezuela memberontak terhadap pemerintahan Presiden yang baru diangkat dua periode, Nicolas Maduro.
Seorang pria yang mengaku Sersan Wandres Figueroa memimpin aksi sekolompok pria bereragam ke markas satuan keamanan khusus sekitar pukul 02.50 pagi. Serangan itu diumumkan melalui ponsel dan disebarkan melalui media sosial.
Dalam video ajakannya, Figueroa berbicara di depan kamera dan meminta warga Venezuela untuk turun ke jalan.
Kemudian, paginya kelompok kecil demonstran itu muncul di jalan-jalan sempit di wilayah Cotiza. Aksi protes ini memanas ketika pasukan keamanan memberikan peringatan gas air mata.
Menteri Pertahanan Nasional Venezuela Vladimir Padrino mengatakan, kelompok kecil penyerang telah ditahan. "Angkatan Bersenjata Nasional Bolivarian dengan tegas menolak jenis tindakan semacam ini, yang dengan pasti, termotivasi oleh kepentingan gelap dan bertentangan dengan hukum unsur disiplin militer, kehormatan dan tradisi lembaga kami," kata pernyataan Padrino seperti dikutip CNN, Selasa (22/1).
Baca juga, Eksodus Warga Venezuela Tembus 3 Juta Orang.
Menteri Padrino mengatakan, kelompok kecil itu mencuri dua kendaraan militer dan menculik empat orang. Para pelaku yang terlibat dalam insiden ini akan ditindak tegas. "Hukuman akan berlaku untuk individu yang melakukan itu," kata Menteri.
Peristiwa ini terjadi hanya beberapa hari usai seruan nasional untuk protes dari Majelis Nasional yang dikontrol oposisi. Mereka tidak mengakui masa jabatan kedua Maduro dan menyerukan agar pemimpin itu mundur.
Mahkamah Agung Venezuela mengeluarkan putusan di Caracas pada Senin yang menyatakan bahwa Majelis Nasional tidak sah dan setiap perjanjian yang disampaikan oleh pimpinan badan legislatif setelah 5 Januari akan dibatalkan.
"Dalam keadaan apa pun (Badan Legislatif) tidak dapat mengambil tindakan dari kantor ekskutif," ujar Hakim Juan Jose Mendoza, salah satu pemimpin Kamar Konstitusi Mahkamah Agung.
Pada 15 Januari, Majelis Nasional menuduh pemerintah Maduro merebut kekuasaan dan mulai menyusun undang-undang amnesti yang akan melindungi anggota angkatan bersenjata yang membelot dari pemberontakan melawan pemerintah.
Pemimpin Majelis Nasional, Juan Guadio melalui Twitter resmi pribadinya menuliskan bahwa insiden pada Senin merupakan refleksi dari perasaan umum dalam angkatan bersenjata negara.
"Majelis Nasional berkomitmen mengedepankan semua jaminan bagi para anggota Angkatan Bersenjata yang secara aktif membantu memulihkan Konstitusi," tulis Guaido.
Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS), tidak akan mengakui masa jabatan kedua Maduro. Tiga sumber mengatakan kepada CNN pekan lalu bahwa Presiden AS Donald Trump sedang mempertimbangkan Guaido sebagai presiden sah negara itu.
Maduro melanjutkan program-program kesejahteraan sosial yang dirintis Hugo Chavez. Sayang, program-program tersebut belum berhasil dijalankan dan Venezuela terperosok pada krisis ekonomi.