REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo tampaknya mundur dari rencananya menawarkan pembebasan bersyarat kepada dalang bom Bali, Abu Bakar Baasyir. Hal itu setelah mendapat reaksi keras baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk Australia.
Beberapa hari lalu Jokowi mengisyaratkan ulama garis keras tersebut akan dibebaskan dari penjara pada hari ini, beberapa tahun sebelum pidananya berakhir, tanpa syarat. Aturan hukum terkait menyebutkan Baasyir yang dipidana 15 tahun penjara, harus menyatakan kesetiaan kepada negara. Dia juga bisa secara resmi mengajukan permohonan grasi kepada Presiden, agar memenuhi syarat untuk dibebaskan. Namun, Baasyir secara konsisten menolak melakukan kedua hal itu.
Presiden Jokowi membenarkan keputusannya untuk membebaskan Baasyir dengan alasan kemanusiaan, yaitu usia tua dan kesehatannya yang lemah. Tapi setelah muncul reaksi keberatan dari Australia, pemerintah Indonesia mundur dari rencana semula.
Bahkan Jokowi kini menyatakan ulama terpidana itu tidak akan dibebaskan kecuali dia memenuhi persyaratan hukum.
Terjebak di antara dua karang
Sikap tarik-ulur presiden ini jelas membuat kemungkinan pembebasan Baasyir semakin kecil. Hal itu menunjukkan dilema politik yang dihadapi Jokowi ketika berusaha mempertahankan jabatan presiden kedua pada Pilpres bulan April.
Terlepas dari sejumlah survei yang mengunggulkannya, Jokowi dinilai menghadapi oposisi keras dari partai-partai Islam yang selama ini berusaha menyerang sisi agama sang presiden. Artinya, ketika Jokowi mengumumkan rencana pembebasan Baasyir, dia sebenarnya berharap menarik pemilih Muslim konservatif.
Baasyir telah menjalani sembilan tahun dari vonis 15 tahun, setelah dinyatakan bersalah karena menyelenggarakan kamp pelatihan jihad di Aceh. Dalam usia 81 tahun, kondisi kesehatannya dilaporkan melemah dan sakit-sakitan.
Putranya, Abdul Rohim Baasyir, mengatakan ayahnya menderita osteoarthritis dan pembengkakan urat yang butuh perhatian medis yang tak tersedia dalam penjara.
Sebenarnya, sama sekali tak ada alasan hukum untuk pembebasan Baasyir. Reaksi keras terhadap rencana pembebasannya tampaknya mengejutkan presiden sendiri. Pada Senin pekan ini, pemerintah mengumumkan peninjauan rencana pembebasan bersyarat tersebut.
Jika melihat waktu Pilpres yang tinggal tiga bulan, pengamat menilai sulit untuk membantah rencana pembebasan Baasyir itu bermotif politik.
"Kita tahu bahwa Joko Widodo sangat cemas dengan kemungkinan Islam digunakan untuk menyerangnya," kata Greg Fealy, pakar politik Indonesia pada Australian National University.
"Dia berada di bawah tekanan karena diduga mengkriminalisasikan ulama Islam," katanya kepada ABC.
"Dari pernyataan timnya jelas digambarkan bahwa pembebasan Abu Bakar Baasyir merupakan bukti bahwa dia perduli dengan ulama," ujarnya.
Menurut Prof. Fealy, tim Jokowi menggunakan rencana tersebut untuk kepentingan politik Presiden. Dia mengatakan, rencana pembebasan yang secara hukum bisa dipertanyakan ini kian menambah kecurigaan bahwa Jokowi melakukannya untuk keuntungan politiknya sendiri.
"Bukan karena kepedulian terhadap seorang ulama Islam yang kian menua, terlepas bahwa dia terpidana teroris," kata Prof Fealy lagi.
Namun, pakar lain menilai pembebasan Baasyir tidak otomatis memberikan keuntungan politik bagi Jokowi.
"Saya kira Jokowi tak mendapatkan poin apapun dari kelompok Islamis garis keras," kata pakar terorisme Sidney Jones, direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik, di Jakarta.
"Jokowi menyasar elemen itu dan ingin mendapatkan dukungan mereka," katanya kepada ABC. "Tapi mereka tak memberikan dukungannya."
Dr Jones bahkan mempertanyakan kabar sakitnya Baasyir "Dia tidak dalam keadaan darurat kritis," katanya.
"Tak ada indikasi bahwa hidupnya terancam atau sangat sakit sehingga tidak akan bertahan lebih dari beberapa bulan," tambahnya.
Dia melihat Baasyir bahkan cukup kuat.
"Jika dia butuh dibebaskan dengan alasan kemanusiaan, mengapa Presiden tidak mengabulkannya ketika petisi diajukan satu setengah tahun lalu?" tanya Dr Jones.
"Mengapa harus menunggu beberapa bulan sebelum Pemilu? Mengapa tak menunggu setelah Pemilu jika tidak ada keadaan darurat?" katanya.
Dr Jones menilai keputusan itu akibat dari masukan penasihat hukum presiden, Yusril Izha Mahendra, yang selama lebih dari satu dekade juga jadi penasihat hukum Baasyir.
"Mungkin masalahnya karena timnya sendiri kacau sehingga tidak ada suara menentang, atau tak berusaha mencari pendapat lain," katanya.
Ketegangan dengan Australia
Tuduhan bahwa Jokowi bertindak demi keuntungan politiknya sendiri, kini diperbandingkan dengan posisi PM Australia Scott Morrison, yang dikritik keras karena mengumumkan rencana pemindahan Kedubes ke Yerusalem menjelang pemilu sela tahun lalu.
Sejumlah menteri Jokowi menyerang keputusan PM Australia itu terburu-buru dan bermotivasi politik. Bedanya, PM Morrison saat ini dituduh menyasar suara pemilih Yahudi, sedangkan Jokowi ingin mengeruk suara pemilih Muslim.
Seorang pengamat Indonesia Ross Taylor mempertanyakan, apakah Jokowi kini melakukan hal yang dilakukan Morrison. Tentu tak mengejutkan jika Jokowi mengabaikan kritikan Morrison atas rencana pembebasan Baasyir. Sama seperti ketika Morrison tak rela dicampuri oleh Indonesia dalam isu Kedubes mereka.
Komentarnya di Jakarta Post menuduh Jokowi berstandar ganda, dan mendesak Presiden "mendengarkan tangisan keluarga mereka yang dibunuh teroris di Bali dan di tempat-tempat lain di Indonesia".
Morrison juga menegaskan Australia akan memprotes jika Baasyir dibebaskan lebih awal. Dia mendesak Indonesia menunjukkan rasa hormat kepada korban bom Bali 2002 yang menewaskan 88 warga Australia.
Namu, putra Baasyir mengatakan ayahnya selama ini disalahpahami dan layak untuk dibebaskan.
"Dia tak bisa dikaitkan dengan terorisme. Yang dia lakukan adalah mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat," katanya.
"Beberapa muridnya melakukan terorisme. Saya tak setuju dengan pendapat bahwa jika siswa membuat kesalahan, guru dan sekolah yang harus disalahkan," tambahnya.
Simak berita ini dalam Bahasa Inggris di sini.
Ikuti juga berita lainnya dari ABC Indonesia.