Kamis 24 Jan 2019 12:18 WIB

Ahok Bebas dan Kekhawatiran Dijadikan Alat Politik

Bebasnya Ahok dikhawatirkan menjadi alat politik untuk kepentingan pemilihan presiden

Red: Nur Aini
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengurus administrasi pembebasan dirinya di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Kamis (24/1).
Foto: Instagram/@basukibtp
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengurus administrasi pembebasan dirinya di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Kamis (24/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Ahok dibebaskan dari hukuman penjara pada Kamis (24/01) atas kasus penistaan ​​terhadap Alquran.

Pengamat hukum dan politik di Australia berpendapat pembebasan Ahok terjadi di saat kondisi politik di Indonesia sedang sensitif, tiga bulan menjelang pemilihan umum di Indonesia.

"Apa pun yang terkait dengan politik agama dan Jokowi saat ini akan memiliki dampak," kata Tim Lindsey, Direktur Centre for Indonesian Law, Islam, and Society di University of Melbourne kepada ABC.

"Tidak diragukan lagi lawan Jokowi akan berusaha menggunakannya untuk melawan Jokowi dan tak diragukan juga akan ada kemungkinan upaya mempermasalahkannya."

Meredam suara garis keras

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan akan membebaskan Abu Bakar Ba'asyir lebih awal, yang semula akan bersamaan dengan pembebasan Basuki. Namun meski telah diberi kesempatan untuk bebas dari penjara, terpidana kasus terorisme tersebut dinilai tak bisa keluar jika tidak memenuhi syarat perundang-undangan.

Dr Lindsey berpendapat keputusan pembebasan itu menjadi tanda adanya "kecemasan dalam kubu Jokowi akan adanya dampak dari pembebasan Ahok."

"Ahok memiliki kaitan erat dengan Jokowi, jika ia melepaskan Ba'asyir, yang dianggap sebagai garis keras, maka setiap kali ada upaya mengangkat masalah Ahok soal penistaan agama atau hujatan kepada Jokowi, maka akan dilawan dengan pembebasan Ba'asyir." katanya.

"Membebaskan Ba'asyir setelah ia menjalani dua pertiga dari hukuman penjaranya akan menangkal kemungkinan dampaknya dari pembebasan Ahok."

Masa depan politik yang tak pasti

Awal bulan ini, Basuki mengunggah surat yang ditulis tangannya sendiri di akun Instagram miliknya. Ia juga meminta agar pendukungnya untuk tak lagi menyebutnya sebagai Ahok, nama panggilan yang diberikan ayahnya, tetapi memanggilnya BTP.

"Saya di sini belajar menguasai diri," tulis Ahok yang merasa bersyukur tidak terpilih di pemilihan kepala daerah DKI tahun 2017 lalu.

"Jika terpilih lagi, saya akan semakin arogan dan kasar dan semakin menyakiti hati banyak orang," tulisnya disertai ucapan permohonan maaf kepada semua yang merasa pernah disakiti.

Sosok Basuki telah dianggap pendukungnya sebagai simbol pluralisme dan toleransi, tetapi Dr Lindsey mengatakan Jokowi mengabaikan apa yang dilihatnya sebagai kekurangan dan menunjukkan betapa lemahnya Jokowi dalam membela keberagaman.

"Apakah ia masih akan memposisikan dirinya sebagai simbol pluralisme masih harus dilihat. Jika ia melakukannya, mungkin akan jadi satu-satunya yang tersisa di ruang publik Indonesia," kata Dr Lindsey.

"Jika secara terbuka mendukung pluralisme dan toleransi beragama dan etnis di Indonesia pada saat ini, akan menjadi sesuatu hal yang membahayakan."

Dr Lindsey juga berpendapat jika Basuki kembali ke dunia politik, maka akan berisiko bagi dirinya sendiri. Hal itu karena bisa mendapat hujatan dari kelompok Muslim konservatif di Indonesia.

"Akan sulit untuk mengatakan apakah Ahok adalah aset menguntungkan atau merugikan bagi Jokowi," katanya.

Kekhawatiran Ahok dijadikan alat politik

Sementara itu, seorang pengamat politik di Indonesia mendesak para politisi, khususnya kedua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto untuk tidak mengambil pembebasan Basuki sebagai kesempatakan politik.

Philip Vermonte, Direktur Eksekutif dari lembaga Centre For Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan kepada ABC bahwa akan lebih baik jika pihak-pihak menahan diri untuk memberikan komentar-komentar di saat suhu perpolitikan yang sedang sensitif.

"Jika baik Jokowi atau Ahok melakukan sesuatu yang akan dianggap sebagai tindakan provokatif oleh lawan politiknya, maka akan mudah untuk membuat gejolak-gejolak dalam politik," ujarnya kepada ABC.

"Kita sudah melihat Jokowi selama ini bersikap netral soal Ahok dan kita berharap ia tidak akan menggunakan Ahok sebagai proksi politik untuk menggalang dukungan."

"Tidak saja hal ini akan lebih baik untuk Jokowi dan Ahok, tapi juga untuk negara secara keseluruhan."

Ikuti berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2019-01-24/ahok-yang-bebas-jangan-dijadikan-alat-politik/10746390
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement