REPUBLIKA.CO.ID, CARACAS -- Pemimpin Oposisi Venezuela dari Majelis Nasional, Juan Guaido menolak tawaran dialog Presiden dua periode Nicolas Maduro. Hal ini menyusul perebutan kekuasaan di antara keduanya.
Presiden Maduro memulai masa jabatan kedua pada awal Januari. Naiknya Maduro menuai protes dari oposisi dan Barat karena dinilai curang. Namun Maduro masih kuat. Sejauh ini, ia tetap mempertahankan dukungan militer. Guaido telah meminta militer menempatkan diri mereka di pihak rakyat Venezuela.
Dia juga menyerukan demonstrasi besar menuntut pengunduran diri Maduro yang akan diadakan lagi pekan depan. "Itu ajakan palsu, itu dialog palsu. Saya akan memertimbangkan amnesti internasional," ujar Guaido seperti dikutip BBC, Sabtu (26/1).
Guaido telah mendeklarasikan diri sebagai presiden pada Rabu (23/1) waktu setempat. Pengakuannya mendapat dukungan negara-negara Barat, termasuk AS. Sejumlah negara di kasawasan seperti Brasil dan Argentina juga lebih memilih mendukung oposisi.
Baca juga, Presiden Maduro Kian Terisolasi di Kawasan.
Namun, Maduro menganggap langkah itu sebagai bagian kudeta yang dipimpin AS. Maduro pun memutuskan hubungan diplomatiknya dengan AS serta menutup kedubes dan konsulat Venezuela di AS.
Pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal krisis ini pun akan diadakan pada Sabtu (26/1) waktu setempat. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo sudah menunjuk mantan diplomat senior sebagai utusan guna menangani krisis di negara Amerika Latin yang kaya minyak itu.
Pompeo menyebut Elliott Abrams akan bertanggung jawab atas semua upaya AS memulihkan demokrasi di Venezuela yang telah lama mengalami krisis ekonomi.
Seperti diketahui, Maduro tidak disuka berbagai oleh sebab kegagalan pemerintahannya dalam menangani krisis ekonomi negara selama beberapa tahun. Venezuela berada dalam krisis ekonomi seperti hiperinflasi dan kekurangan kebutuhan pokok sejak lama.
Krisis menyebankan jutaan orang ke luar negeri untuk mengungsi dan bertahan hidup. Maduro pun menghadapi kritik oposisi internal dan kritik internasional yang berkelanjutan soal catatan hak asasi manusia dna pananganan ekonomi.
Advertisement