REPUBLIKA.CO.ID, TEHRAN -- Iran merupakan negara pertama yang secara resmi mengakui Mesir setelah kemerdekaannya dari Inggris pada 1922. Iran kemudian membuka kedutaan besar di Kairo, ibu kota Mesir, untuk meningkatkan hubungan antara kedua negara.
Pada 1928, Iran dan Mesir menandatangani perjanjian perdagangan dan Kamar Dagang Iran didirikan di Kairo. Pada masa inilah duta besar Iran di Kairo mengatur pertemuan antara saudara perempuan Raja Farouk, Putri Fawzia, dan Putra Mahkota Iran pada saat itu, Mohammad Reza Pahlavi. Serikat politik dipuji oleh kedua belah pihak.
Pasal 37 Konstitusi Iran, yang menetapkan bahwa ibu dari Pangeran Mahkota harus berasal dari Iran, harus diubah sebagai akibat dari persatuan itu. Pernikahan pun terjadi pada Maret 1939 di Istana Abdeen di Kairo. Mereka juga merayakan pesta pernikahan di Teheran.
Saat itu, perkawinan antara Mohammed Reza dan Fawzia diyakini tidak hanya akan memperkuat hubungan antara Mesir dan Iran, tetapi juga akan memainkan peran penting dalam mengkonsolidasikan kepemimpinan Mesir di dunia Islam dan mengakui mereka sebagai pusat kekhalifahan Islam.
"Tujuan dari pernikahan ini adalah untuk menghidupkan kembali kekhalifahan Islam dan memilih Raja Farouk sebagai khalifah Muslim," tulis pers Inggris, seperti dilansir di Al Arabiya, Sabtu (27/1).
Namun demikian, persatuan antara dua bangsawan terbukti sulit. Puteri Fawzia tidak bisa berbahasa Persia dengan baik. Ia juga jauh dari keluarga dan teman-temannya di Mesir. Hal itu menyebabkan timbulnya perselisihan terus-menerus dengan suami dan anggota keluarganya.
Kabarnya, hubungan antara Putri Fawzia dengan saudara perempuan Pahlavi adalah hubungan yang dingin. Fawzia tidak merasa nyaman dalam atmosfer Iran yang tidak menarik. Karenanya, ia merasa tidak ada ikatan dengan orang Iran.
Akibatnya, dia tidak berpartisipasi dalam upacara sosial dan menolak untuk menghadiri pertemuan, bahkan ketika suaminya meminta kehadirannya. Dengan demikian, hidupnya sebagai Ratu Iran sulit dan tidak menyenangkan.
Selama pernikahannya dengan Shah Pahlevi, Ratu Fawzia melahirkan seorang bayi perempuan bernama Shahnaz pada Oktober 1940. Kerap dikabarkan jika pernikahan antara keduanya adalah pernikahan tanpa cinta. Kegelisahan Shah telah dipertanyakan berkali-kali, yang menyebabkan ketidakbahagiaan Fawzia dan akhirnya ia mengajukan cerai.
Pada Mei 1945, Fawzia pindah ke Kairo dan mengajukan cerai dari pengadilan Mesir. Meskipun Shah telah mencoba membujuknya untuk kembali ke Iran beberapa kali, sang putri tetap di Mesir dan bersikeras untuk bercerai. Dia memandang Teheran sebagai kota yang belum berkembang dibandingkan dengan ibu kota kosmopolitan Mesir yang sedang berkembang.
Awalnya, perceraian itu tidak secara resmi diakui oleh Iran selama beberapa tahun. Tetapi pada 1948, perceraian resmi diperoleh di Iran dan Fawzia merebut kembali gelarnya sebagai Putri Mesir.
Dalam pengumuman resmi, dikatakan bahwa kesehatan Fawzia memburuk di iklim Iran dan karenanya ia harus mengakhiri perkawinannya. Kendati begitu, Shah di sisi lain juga mengatakan bahwa perceraian tidak akan mempengaruhi hubungan persahabatan antara Mesir dan Iran.