REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI DAW -- Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menyeru pebisnis global untuk berinvestasi di negaranya. Ia meyakinkan bahwa situasi Myanmar saat ini sudah kondusif pascakrisis Rohingya.
"Saya berdiri di sini untuk menegaskan kembali komitmen kami untuk melanjutkan reformasi dan membangun lingkungan yang ramah investasi," kata Suu Kyi dalam sebuah pertemuan dengan pebisnis, diplomat, dan jurnalis di Nay Pyi Daw, Senin (28/1).
Dia mengajak para pebisnis dan pengusaha global untuk berinvestasi di Myanmar. "Silakan datang ke Myanmar, berendam dalam atmosfer yang penuh dengan peluang dan saksikan semangat ekonomi kami yang baru dengan mata kepala Anda sendiri," ujar Suu Kyi.
Suu Kyi tak menyinggung tentang krisis Rohingya dalam pidatonya. Dia pun tak memerinci tentang reformasi ekonomi yang tengah dilakukan negaranya.
Tahun lalu The International Monetary Fund (IMF) mengungkapkan bahwa sejumlah pebisnis asing menunda investasinya di Myanmar. Hal itu terjadi akibat krisis Rohingya. Mereka khawatir beberapa sanksi Barat yang dijatuhkan terhadap negara itu akan menghambat perekonomian.
Uni Eropa, misalnya, sedang mempertimbangkan sanksi perdagangan terhadap Myanmar terkait krisis Rohingya. Sanksi tersebut berpotensi membuat Myanmar kehilangan akses bebas tarif ke perhimpunan negara-negara Eropa tersebut.
Baca juga: Cina Ambil Langkah Serius Perangi Polusi Udara
Bulan lalu, Bank Dunia memperkirakan bahwa produk domestik bruto Myanmar turun dari 6,8 persen menjadi 6,2 persen pada tahun fiskal 2018-2019. Salah satu pemicunya adalah krisis di Negara Bagian Rakhine.
Krisis Rohingya terjadi pada Agustus 2017, yakni ketika militer Myanmar memburu anggota Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Pemburuan itu turut menyasar warga sipil Rohingya. Operasi militer menyebabkan lebih dari 700 ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Saat ini, setelah melalui proses cukup panjang, Myanmar dan Bangladesh telah memulai repatriasi para pengungsi. Namun PBB dan sejumlah negara masih melayangkan kritik kepada Myanmar dan meminta proses repatriasi dihentikan.
Alasannya adalah karena PBB menilai repatriasi belum dilakukan atas dasar sukarela. Selain itu, situasi dan kondisi di Rakhine belum sepenuhnya kondusif.