Selasa 29 Jan 2019 01:24 WIB

Mereka yang Raib di India Terekam dalam 12 Halaman Kalender

Kalender itu menampilkan 12 dari ribuan orang hilang di India.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Nashih Nashrullah
Para istri yang hingga kini kehilangan suami mereka.
Foto: Aljazeera
Para istri yang hingga kini kehilangan suami mereka.

REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR — Safiya Azad (43) masih takut melupakan suaminya. Sebab, dia tak tahu, apakah suaminya hidup atau meninggal? Setiap hari, selama 26 tahun, Safiya selalu berusaha mengingat suaminya.

Pada suatu sore di musim semi pada April 1993, seorang pengusaha bernama Humayun Azad menghilang. Dia tak ada kabar setelah dijemput oleh pasukan paramiliter India.

Di bawah Asosiasi Orang Tua Orang Hilang (APDP), Safiya dan sekelompok warga Kashmir lainnya yang juga kehilangan kerabatnya, meluncurkan kalender sketsa dan cerita tentang anggota keluarga mereka yang hilang. 

Parveena Ahanger (65), memulai APDP ketika putranya menghilang pada awal 1990-an. 

“Ini adalah cara unik bagi mereka untuk terus mengingat dan mencari anggota keluarga mereka atau menunggu mereka kembali,” kata Ahanger dilansir di Aljazeera

Kalender itu menampilkan 12 dari ribuan orang hilang di India. Satu per satu orang hilang itu akan muncul seiring pergantian bulan di kalender. Mereka yang hilang, banyak berprofesi sebagai mahasiswa, petani, buruh, penjahit, dan sopir.

Kasus hilangnya Humayun Azad disorot pada April lalu. Di sebelah sketsa wajahnya dalam kalender itu, tertulis kalimat, “Aku menguburmu, berulang kali, di hatiku sekali, di jiwaku dua kali, dan di ingatanku sesekali.” 

Seniman pembuat sketsa wajah orang-orang yang hilang, Suhail Naqshbandi, menganggap karyanya adalah pengalaman emosional.

“Gambar-gambarnya sangat kecil dan buram. Dan keberadaan (pria-pria) muda ini tampaknya juga tidak jelas. Saya harus membayangkan dan menebak detailnya. Anda tidak tahu apa yang terjadi pada pria ini,” ujar dia.  

Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan, setidaknya 8.000 orang menghilang sejak 1989. Beberapa dijemput oleh pasukan paramiliter, dan beberapa lainnya tidak kembali usai meninggalkan rumah. Kelompok hak asasi manusia mencatat, sebagian besar penghilangan terjadi pada 1990-an dan awal 2000-an. 

Tepatnya, ketika konflik bersenjata mencapai puncaknya di wilayah bergolak itu. Orang-orang seperti Safiya telah mencari jawaban selama lebih dari dua dekade.

“Aku berumur 16 ketika aku menikah dengannya. Dia berusia 24,” kata Safiya. Saat suaminya menghilang, putra mereka, Dawood Ahmad berusia enam bulan.

“Dari kantor polisi, ke penjara ... aku mencarinya di mana-mana,” ujar Safiya. 

Safiya tinggal di rumah mertuanya di Srinagar. Dia menghitung sudah 20 tahun sejak suaminya menghilang. “Itu mungkin bukan cerita untuk didengar orang lagi. Tapi bagiku, semuanya begitu segar dalam ingatanku,” kata dia.

Setengah janda adalah istilah khusus untuk wanita yang suaminya menghilang. Safiya sendiri, menikah selama dua tahun, sebelum Humayan hilang. 

Saat itu, seorang tetangga memberi tahu Safiya bahwa pasangannya dibawa pergi. “Setelah itu, kita tidak pernah melihatnya,” ujar Safiya.

Dia berpegang teguh pada harapan saat ada informasi yang menyebut suaminya ada di sebuah pusat interogasi yang terkenal di Srinagar atau disebut Papa 1. 

photo
Seorang istri di India menunjukkan kalender dengan wajah para suami mereka yang raib/Aljazeera

Pusat interograsi itu digunakan untuk menggali informasi dari pemberontak pada 1990-an, ketika pemberontakan bersenjata melawan pemerintah India dimulai di wilayah yang disengketakan.

“(Informasi) itu meningkatkan harapan saya bahwa dia masih hidup. Saya pergi ke pusat penyiksaan setiap hari. Saya duduk di sana dari pagi hingga sore. Tapi saya tidak pernah melihatnya,” kata Safiya.

Suatu kali, dia mengiriminya sebuah koper penuh berisi pakaian, pasta gigi, sabun, handuk, sandal. Safiya juga menyelipkan permen karet, sebab suaminya gemar mengunyah permen karet. “Tapi aku tidak tahu, apakah itu (koper) sampai kepadanya,” ujar dia.

Safiya mendapat pesan keberadaan suaminya di pusat penyiksaan hingga tahun 2000-an. Kemudian, dia tak pernah lagi menerima kabar atau informasi apapun tentang suaminya.

Safiya pernah menulis surat untuk suaminya, “Aku kehilangan semua tulisanku, ketika banjir melanda Kashmir pada 2014. Aku, bahkan menyimpan sebatang rokok setengah terbakar yang telah dia hisap pagi itu. Sampai beberapa tahun yang lalu, pakaiannya tetap tergantung di lemari pakaian. Saya dan semua yang ada di rumah masih menunggunya.”

Seorang aktivis hak asasi manusia yang bermarkas di Kashmir dan Ketua Federasi Asia Melawan Penghilangan Paksa (AFID), Khurram Parvez, menyalahkan pemerintah karena tidak bertindak atas peristiwa itu. 

“Dalam banyak kasus, para pelaku juga telah diidentifikasi, tetapi tidak ada keadilan yang diberikan,” kata dia.

Namun, penasihat gubernur negara bagian Jammu dan Kashmir, Vijay Kumar menjelaskan ada sistem yang tepat dalam administrasi jika seseorang memiliki keluhan atau meminta penyelidikan. 

“Selalu ada mekanisme yang ditetapkan dalam pemerintah India dan tempat-tempat lain untuk memantau beberapa kasus ini. Banyak kasus telah diselidiki,” ujar dia.

Pada Juni tahun lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam laporan HAM pertamanya tentang Kashmir mendorong investigasi kredibel atas penghilangan paksa itu, termasuk ke tempat-tempat yang diduga sebagai kuburan massal di Lembah Kashmir dan wilayah Jammu.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement