REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Riset Amnesty International, kelompok pembela hak asasi manusia, menemukan bahwa pihak berwenang di Qatar tidak memenuhi janji mereka untuk melindungi hak sekitar dua juta pekerja migran di negara itu.
"Langkah penting untuk memperbaiki hak pekerja sudah terlewati sejak perjanjian ditandatangani dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2018," demikian pernyataan Amnesty International seperti yang dikutip bbc.com, Rabu (6/2).
Dalam laporan setebal 19 halaman dengan judul "Cek Realitas", Amnesti Internasional memperingatkan banyak yang harus dilakukan agar para pekerja tersebut tidak menjadi korban eksploitasi.
Dalam sebuah pernyataan, organisasi sepak bola internasional (FIFA) menyatakan bahwa mereka menyambut baik langkah penting yang telah diambil beberapa bulan terakhir oleh Pemerintah Qatar untuk mereformasi perlindungan terhadap para pekerja.
Namun, FIFA juga menambahkan "Kami sependapat dengan pandangan Amnesty International bahwa diperlukan perbaikan tambahan agar komitmen tersebut bisa diimplementasikan dengan reformasi aturan tenaga kerja secara menyeluruh oleh Pemerintah Qatar."
Pemerintah Qatar belum mengeluarkan tanggapan resmi atas temuan Amnesti Internasional tersebut
Pada 2010, Qatar secara kontroversial mengalahkan para pesaing seperti AS, Australia, Korea Selatan, dan Jepang untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Ratusan ribu pekerja konstruksi di Qatar berasal dari luar negeri.
Untuk menggelar pesta sepak bola terbesar di dunia itu, Pemerintah Qatar saat ini sedang membangun tujuh stadion baru dengan penyelengaraan pertandingan yang dipindah ke musim dingin demi menghindari cuaca panas.
Pihak Amnesyi International juga mengakui Qatar sebenarnya sudah memulai proses reformasi di tengah kecaman dunia internasional setelah ditemukan banyak pekerja yang tewas akibat kondisi kerja yang buruk.
Aturan baru yang diterapkan termasuk di antaranya upah minimum sementara dan dana asuransi pekerja. ILO juga telah mendirikan kantor di Doha untuk bekerja sama menangani hal-hal yang berkaitan dengan masalah pekerja.
Riset Amnesty International sebagian besar berfokus kepada proyek infrastruktur pemerintah, selain pembangunan stadion Piala Dunia 2022.
Namun demikian, para pekerja di stadion tersebut juga sangat rentan menjadi korban eksploitasi dan perdagangan manusia.
Menurut catatan Amnesty International, meski ada janji-janji reformasi dan juga beberapa perbaikan, tidak ada reformasi yang berarti dalam sistem "kafala", yaitu hubungan antara pekerja dan majikan.
Pemerintah Qatar sebelumnya berjanji untuk menghapus kafala, yang digambarkan kelompok hak azasi manusia sebagai bentuk perbudakan modern.
Terkait dengan tuntutan reformasi kondisi pekerja, sekitar 30 ribu pekerja di proyek Piala Dunia 2022 sudah menikmati hasil dari standar kerja yang lebih ketat, sistem rekruitmen yang lebih baik dan gaji yang tepat waktu.
Meski terdapat beberapa perbaikan nyata, pihak Ammesti juga mencatat bahwa para pekerja tersebut belum dihormati secara universal dan tahun lalu panitia Piala Dunia mengakui bahwa pihak kontraktor di salah satu stadion melanggar aturan jam kerja.
"Batas waktu sudah habis jika Pemerintah Qatar ingin memberikan warisan yang memuaskan semua pihak, yaitu sistem pekerja yang mengakhiri penderitaan begitu banyak pekerja migran," kata Stephen Cocburn, Direktur Amnesti Internasional.
Amnesty International juga mengimbau FIFAC menggunakan pengaruh mereka secara aktif agar Qatar segera memenuhi janji reformasi perlindungan terhadap semua pekerja migran menjadi warisan dari penyelenggaraan Piala Dunia.
Bulan lalu, Hassan Al-Thawadi, Ketua Panitia Piala Dunia Qatar 2022 mengatakan kepada BBC, bahwa ada ruang untuk perbaikan upah pekerja, tapi ada juga rencana untuk menerapkan upah minimum dan perbaikan menuju reformasi akan terus berlanjut.