Jumat 08 Feb 2019 01:00 WIB

Undang-Undang AS Soal Larang Boikot Israel Tuai Kritikan

Undang-undang tersebut dinilai bertentangan dengan kebebasan berbicara warga sipil.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Dwi Murdaningsih
Boikot produk Israel (ilustrasi).
Foto: muslimvillage.com
Boikot produk Israel (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Senat Amerika Serikat (AS) telah mengesahkan undang-undang (UU) yang mendefinisikan kebijakan keamanan AS di Timur Tengah. Dalam UU tersebut, negara-negara bagian AS didorong untuk tidak menandatangani kontrak atau perjanjian dengan pihak-pihak yang mendukung gerakan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) terhadap Israel.

UU ini menuai banyak kritik. Senator Rand Paul menentang dan mengkritik UU yang melarang gerakan BDS. Dia menilai, UU tersebut adalah kebalikan dari hak-hak kebebasan berbicara warga Amerika di bawah Amandemen Pertama Konstitusi.

"Negara kita didirikan berdasarkan konsep dan di tengah-tengah boikot besar. Pada saat itu, kita memboikot barang-barang Inggris dan paling khusus, teh Inggris," kata Paul menyinggung tentang sejarah berdirinya AS.

Menurutnya aksi boikot melekat pada identitas dan sejarah Amerika. "Tampaknya tidak ada yang lebih Amerika daripada memprotes, berselisih, dan memboikot," ujarnya.

"Yang menyedihkan hari ini adalah bahwa kita akan memperdebatkan apakah akan membatasi hak Amandemen Pertama untuk memboikot atau tidak, dan kita akan melakukannya karena sebagian besar badan ini tidak setuju dengan konsep tentang apa yang diboikot orang-orang," kata Paul.

The American Civil Liberties Union (ACLU) juga menentang UU baru yang diloloskan Senat. "Hari ini Senat memilih politik di atas konstitusi dan menginjak-injak hak Amandemen Pertama semua orang Amerika," ujar ACLU dalam sebuah pernyataan.

Profesor politik dari Maryland University Shibley Telhami turut menyuarakan kritiknya terhadap UU yang diloloskan Senat. "Ini melampaui mendukung Israel atau tidak mendukung Israel. Ini tentang kebebasan sipil Amerika," ucapnya.

Dia menilai UU tersebut jelas mengganggu kebebasan sipil warga Amerika, terlebih bagi mereka yang mendukung atau mengampanyekan BDS. "Bahkan orang-orang yang menentang sanksi merasa ofensif bahwa mereka harus menghukum orang yang menyuarakan dukungan untuk sanksi," kata Telhami.

Sebanyak 26 negara bagian AS telah mengadopsi langkah-langkah anti-BDS yang didukung oleh AIPAC. Namun hakim di Kansas dan Arizona mencabut UU tersebut pada 2018.

Gerakan atau kampanye BDS dimulai pada Juli 2005. Gerakan itu dikoordinasi oleh Palestinian BDS National Committee. Ketika kampanye BDS pertama kali diluncurkan, terdapat lebih dari 170 organisasi non-pemerintah Palestina yang berpartisipasi di dalamnya.

Tujuan utama kampanye BDS adalah memberi tekanan kepada Israel agar mengakhiri pendudukannya atas Palestina. Jalur pertama yang ditempuh adalah melalui boikot, yakni melibatkan penarikan dukungan terhadap Israel dan perusahaannya yang terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap rakyat Palestina. Lembaga olahraga, budaya dan kesenian, serta akademik Israel turut menjadi sasaran kampanye pemboikotan.

Kemudian divestasi adalah kampanye yang mendesak bank, dewan lokal, termasuk universitas, untuk menarik investasinya dari semua perusahaan Israel. Termasuk perusahaan-perusahaan internasional yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap rakyat Palestina.

Sementara sanksi merupakan kampanye yang bertujuan mendesak pemerintah memenuhi kewajiban hukumnya untuk meminta pertanggung jawaban Israel. Dalam hal ini, para aktivis BDS juga akan menuntut pemerintah masing-masing agar mengakhiri transaksi perdagangan dengan Israel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement