REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Koalisi Rohingya Merdeka (FRC) menyatukan para cendekiawan dan aktivis untuk konferensi dua hari di New York. Mereka melakukan itu bertujuan menunjukkan keadaan kaum minoritas Muslim dan menyerukan kepada dunia untuk mendengarkan dan menekan Myanmar agar berhenti menyerang warga Rohingya.
Koordinator FRC untuk Urusan Perempuan dan Anak, Razia Sultana, mengaku sangat kecewa dengan komunitas internasional lantaran belum mengambil tindakan yang kuat atau bertujuan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas genosida.
Dalam misi pencarian fakta pada bulan Oktober, PBB mencatat bahwa genosida terhadap Rohingya masih berlangsung, tetapi Sultana menunjukkan bahwa masih belum ada tindakan dari Dewan Keamanan PBB.
Aktivis Rohingya, Yasmin Ullah menuturkan ketakutan dan intimidasi adalah bagian dari kehidupan sehari-hari di negara bagian Rakhine. Ketakutan dan intimidasi terus membayangi warga Rohingya ke mana-mana.
"Beberapa orang mungkin berpikir bahwa dengan meninggalkan rezim genosida yang represif, Rohingya akan bebas," kata Ullah seperti dilansir dari kantor berita Turki, Anadolu Agency, Ahad (10/2).
Amnesty International mencatat, lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penumpasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
Menurut laporan oleh Ontario International Development Agency (OIDA), sejak itu, hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara Myanmar. OIDA juga melaporkan lebih dari 34 ribu Rohingya juga dilemparkan ke dalam kebakaran, 18 ribu dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar, dan lebih dari 115 ribu rumah Rohingya dibakar.