REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sebuah konferensi internasional di New York menyerukan pemboikotan Myanmar atas tuduhan pembersihan etnis di negara tersebut. Konferensi Internasional Perlindungan dan Pertanggungjawaban di Burma ini digelar di New York pada Ahad (10/2) waktu setempat.
Dilansir dari Anadolu Agency, Senin (11/2), konferensi mempertemukan para pengkampanye, aktivis, ulama genosida terkenal dan pejabat PBB. Konferensi tersebut juga menekankan tentang genosida di balik kekerasan dan penganiayaan Myanmar terhadap Muslim Rohingya.
Dewan Keamanan PBB dikritik karena tidak mengambil langkah serius meskipun ada laporan PBB 2018 yang mendokumentasikan genosida terhadap Muslim Rakhine oleh negara Myanmar. Para peserta konferensi memperingatkan genosida sebelumnya telah terang-terangan, tetapi tak ada langkah mencegah.
Dalam konferensi itu, para aktivis perempuan turut bersuara. Mereka mengatakan, tentara Myanmar menggunakan pemerkosaan sebagai senjata melawan perempuan Muslim Rakhine. Anak-anak mereka dibakar di depan mata mereka.
Selain itu juga disebutkan bahwa meski yang paling teraniaya di Myanmar adalah Muslim Rakhine, tetapi etnis minoritas lainnya juga telah menjadi sasaran tentara. Konferensi tersebut pun meminta komunitas internasional dan perusahaan untuk memboikot dan mengambil tindakan kolektif terhadap pemerintah Myanmar.
Amnesty International mencatat, lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penumpasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
Menurut laporan oleh Ontario International Development Agency (OIDA), sejak itu, hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara Myanmar. OIDA juga melaporkan lebih dari 34 ribu Rohingya juga dilemparkan ke dalam kebakaran, 18 ribu perempuan dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar, dan lebih dari 115 ribu rumah Rohingya dibakar.