Rekaman percakapan telepon dalam penjara imigrasi Villawood di Kota Sydney mengungkap cara kerja sindikat penipuan dan narkoba. Mereka memanfaatkan korban penipuan berantai untuk menyelundupkan narkoba ke Australia.
Percakapan tersebut disadap oleh pihak berwajib dan didapat oleh Program Four Corners yang menayangkannya di ABC TV, Senin (11/2).
Tersangka penyelundup narkoba Dirichukwu Patrick Nweke dalam rekaman itu mengarahkan operasi penyelundupan dengan memanfaatkan pensiunan asal AS. Nweke menggunakan telepon yang diselundupkan ke penjara untuk berkoordinasi dengan para operator di Eropa, Amerika Selatan, Afrika, Asia dan Australia.
Mereka berhasil memperdaya pria asal AS, Peter Strand (65), melalui kencan online untuk membawa 2,5 kg kokain namun ditangkap di bandara Sydney. Kepolisian New South Wales menuduh jaringan penipuan ini beroperasi di dalam penjara Villawood.
Pada Oktober 2018, polisi menangkap tahanan Villawood asal Nigeria lainnya yang diduga menipu korban senilai hampir Rp 30 miliar. Pihak berwajib berhasil mengetahui rencana sindikat itu menipu Strand ketika mendengarkan pembicaraan telepon Nweke pada 2013.
Selama November 2013 hingga April 2014, 10 pembicaraan telepon tersangka di Villawood menunjukkan adanya kontak dengan orang-orang Nigeria di Afrika Selatan, Brasil, Nigeria, India, dan Australia.
"Saya tidak mau ambil risiko. Saya suka membuat orang lain yang ambil risiko," kata Nweke.
Dia meminta jaringannya untuk menemukan orang Barat yang akan luput dari perhatian Bea Cukai Australia.
Strand menjadi calon korban ideal bagi sindikat ini. Dia pria yang kehilangan pekerjaan, perkawinan berantakan, dan kehilangan uang sekitar Rp 5 miliar dalam penipuan kencan online.
Dalam situasi itu, Strand mendapat email pada November 2013 dari seseorang yang mengaku pejabat Pemerintah Nigeria bernama Bricks Manuel, menawarkan bantuan untuk mendapatkan kembali uangnya.
Setelah berbulan-bulan komunikasi antara Strand dan "Bricks", Nweke menerima kabar bahwa operatornya di Eropa berhasil mendapatkan kurir asal Chicago. "Mereka yang mengendalikan pria ini berada di Spanyol," kata operator bernama Kelvin itu kepada Nweke.
Kelvin menggambarkan Strand sebagai pria terbaik untuk menjalankan operasi mereka."Dia memakai alat bantu oksigen, jadi tidak ada yang akan menghentikannya. Kita bahkan akan mengasihani dia ketika melihatnya," ujarnya.
"Apakah orang ini tahu apa yang akan dia lakukan?" tanya Nweke, sebagaimana terdengar dalam rekaman pembicaraan telepon yang disadap.
"Yang dia tahu, dia akan membawa bahan kimia," jawab Kelvin. Sebelumnya Strand sudah diberitahu bahwa dia akan membawa bahan kimia untuk membersihkan lembaran uang yang terkontaminasi pewarna.
"Seharusnya uang tunai yang akan saya dapatkan ini ditandai dengan beberapa jenis pewarna, yang perlu dibersihkan agar saya mendapatkan uang tunai yang bersih," kata Strand kepada ABC.
Namun Polisi Australia sudah menunggu Strand ketika dia mendarat di bandara Sydney dalam penerbangan dari Brasil pada 29 April 2014. Petugas menemukan 2,5 kilogram kokain murni yang dicampur dengan bahan kimia lain di dalam dua wadah bubuk protein dalam tas yang dibawa Strand.
Pengacara Strand, David Barrow, menelusuri ratusan email antara kliennya dengan penipu, serta percakapan telepon dari Villawood. Dia menemukan metodologi yang digunakan sindikat ini mirip perusahaan yang terintegrasi secara vertikal.
"Mereka memperoleh narkoba dari lokasi tertentu, misalnya dari Brasil, tapi bisa pula dari tempat seperti Cina," kata Barrow. "Mereka memiliki jaringan di sana yang dapat mengirimkan dana untuk membayar narkoba tersebut."
Selain itu, sindikat ini juga mencari kurir yang gampang tertipu seperti Strand yang berkulit putih, 'terhormat', yang tidak akan menarik perhatian ketika melewati perbatasan internasional.
Strand telah diputus tidak bersalah atas upaya penyelundupan narkoba oleh Pengadilan Distrik NSW. Sementara Nweke dinyatakan bersalah dalam kasus ini akan divonis depan.
Banyak korban penipuan yang terpikat dalam penyelundupan narkoba kini mendekam dalam penjara di berbagai negara. Termasuk seorang wanita asal Sydney, Maria Exposto, yang dijatuhi hukuman mati di Malaysia.
Exposto (55) ditangkap di Bandara Kuala Lumpur saat dalam perjalanan ke Australia pada 2014. Dia kedapatan membawa 1,1 kg metamfetamin yang dijahit ke lapisan ransel yang diberikan padanya di Shanghai.
Exposto, mantan pekerja anti perdagangan manusia di Timor Timur, mengaku secara sukarela menyerahkan ransel itu untuk diperiksa petugas Bea Cukai.
"Saya tidak tahu apa-apa tentang narkoba itu," kata Exposto kepada ABC melalui sambungan telepon dari penjara di Malaysia. "Saya bebas narkoba, membesarkan anak-anakku juga tanpa narkoba."
ABC memperoleh email dan catatan keuangan Exposto, yang menunjukkan bagaimana dia terpedaya ke Shanghai oleh penipuan kencan online. Exposto pun percaya dia bertunangan dengan seseorang bernama "Kapten Daniel Smith", prajurit Pasukan Khusus AS yang mengaku duda dan bertugas di Afghanistan.
Dia berbicara dengan "Daniel Smith" hampir setiap saat melalui telepon, email dan video call selama lebih dari satu tahun antara 2013 dan 2014. "Saya cinta buta pada Daniel," kata Exposto. "Setiap hari dia menyanyikan lagu-lagu cinta untukku lima kali sehari. Dia membuatku jatuh cinta."
Yang terjadi, "Daniel Smith" cuma sosok rekayasa menggunakan foto dan video dari seorang pensiunan Angkatan Laut Inggris. Email Exposto menunjukkan bahwa dia terpikat ke Shanghai untuk menandatangani surat-surat kekasih online-nya itu.
Kepada ABC, dia mengatakan bertemu pria yang mengaku sebagai teman kekasihnya dan memintanya membawa hadiah Natal untuk keluarganya. Exposto mengatakan pria itu mengosongkan tas dan menunjukkan tidak ada apa-apa selain kemeja di dalamnya.
Saksi ahli dalam persidangan Exposto di Malaysia, Profesor Monica Whitty dari University of Melbourne, mengaku percaya Exposto terjerat sindikat penipuan transnasional.
Profesor Whitty menggambarkan Exposto sebagai contoh nyata korban penipuan kencan online. Exposto kini menunggu putusan final kasusnya setelah dia banding atas vonis hukuman mati.
Ikuti juga berita lainnya dari ABC Indonesia