Rabu 13 Feb 2019 20:08 WIB

Cina Dilaporkan Menjalin Komunikasi dengan Oposisi Venezuela

Cina mencemaskan masa depan proyek minyaknya di Venezuela.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Pemimpin Majelis Nasional Juan Guaido memproklamirkan diri sebagai presiden sementara Venezuela di Central University of Venezuela di Caracas, Jumat (8/2).
Foto: AP Photo/Ariana Cubillos
Pemimpin Majelis Nasional Juan Guaido memproklamirkan diri sebagai presiden sementara Venezuela di Central University of Venezuela di Caracas, Jumat (8/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina dilaporkan telah menjalin komunikasi dengan kelompok oposisi Venezuela. Hal itu dilakukan Beijing untuk melindungi investasinya di negara yang sedang dilanda krisis politik tersebut.

Wall Street Journal, mengutip sumber yang mengetahui tentang pembicaraan tersebut melaporkan, Cina mencemaskan masa depan proyek minyaknya di Venezuela. Beijing pun mengkhawatirkan tentang utang Venezuela sebesar 20 miliar dolar AS terhadapnya.

Menurut sumber tersebut, diplomat Cina melakukan pembicaraan dengan perwakilan pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido di Washington, Amerika Serikat (AS), dalam beberapa pekan terakhir. Tujuannya mencari jalan keluar atas permasalahan tersebut.

Kementerian Luar Negeri Beijing belum memberikan komentar perihal laporan adanya pembicaraan dengan oposisi Venezuela. Namun pada awal Februari lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang mengatakan, negaranya menjalin komunikasi dengan semua pihak yang berada di Venezuela.

Menurutnya hal itu penting guna mempertahankan hubungan dan kerja sama yang telah terjalin antara Beijing dan Caracas. "Tidak peduli bagaimana situasinya berkembang, kerja sama Cina-Venezuela tidak boleh dirusak," ujar Geng.

Baca juga, Erdogan Bela Maduroa, Trump Dukung Oposisi Venezuela.

Pakar hubungan Cina di Amerika Latin dari US Army War College, R. Evan Ellis, menilai wajar bila Beijing menjalin komunikasi dengan oposisi Venezuela. Cina mengakui meningkatnya risiko perubahan rezim dan tidak ingin berada di sisi oposisi rezim baru.

"Sementara mereka lebih suka stabilitas, mereka menyadari bahwa mereka harus meletakkan telur di keranjang lain," ujar Ellis menambahkan.

Selama hampir dua dekade, kesepakatan pinjaman uang untuk minyak dengan Cina dan Rusia telah memberikan dukungan vital bagi Venezuela. Hal itu berkembang pada masa pemerintahan Hugo Chavez, yakni presiden Venezuela sebelum Nicolas Maduro.

Kala itu, Chavez tidak hanya menjalin hubungan erat dengan Rusia dan Cina. Dia pun membangun kerja sama dengan Kuba, Iran, bahkan India, dalam upaya untuk memerangi kekuatan AS.

Namun sejak Maduro memimpin, hubungan ekonomi dengan negara-negara tersebut menegang. Perekonomian Venezuela mulai melemah diiringi dengan anjloknya produksi minyak. Praktik korupsi pun menjalar di tubuh pemerintahan.

Sanksi ekonomi yang dijatuhkan AS terhadap perusahaan minyak Venezuela, yakni Petroleos de Venezuela S.A (PDVSA), pada bulan lalu, kian menggencet Maduro. Sebab hal itu telah memotong satu-satunya sumber pendapatan Venezuela. Dengan kata lain, produksi minyak negara tersebut juga semakin tergerus.

Krisis politik di Venezuela telah berlangsung sejak bulan lalu, tepatnya ketika ratusan ribu warga di sana turun ke jalan dan menuntut Maduro mundur dari jabatannya. Saat itu, Majelis Nasional Venezuela, yang juga dipimpin Juan Guaido, menyatakan bahwa pemerintahan Maduro tidak sah.

Guaido kemudian memproklamirkan dirinya sendiri sebagai presiden sementara. AS segera mengakui kepemimpinannya. Israel dan Australia juga mengikuti langkah AS mendukung Guaido. Saat ini negara-negara Eropa juga telah mengakui kepemimpinan Guaido. Mereka antara lain Prancis, Spanyol, Jerman, Inggris, Portugal, Swedia, Denmark, Austria, Albania, dan Belanda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement