REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina telah meningkatkan pengawasan secara individual di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu termasuk pembangunan sistem pengawasan video dan pemantauan melalui ponsel cerdas.
Seorang peneliti dan pendiri organisasi nirlaba GDI Foundation Victor Gevers mengatakan, perusahaan SenseNets Technology Ltd yang berbasis di Shenzhen memiliki teknologi pengenalan wajah. Perusahaan itu sedang melacak pergerakan lebih dari 2,5 juta orang di wilayah Xinjiang.
Data menunjukkan sekitar 6,7 juta titik data lokasi yang saling terkait dan terhubung dengan orang-orang dalam waktu 24 jam. Mereka ditandai dengan kata kunci seperti masjid, hotel, dan warung internet, atau warnet serta tempat-tempat lain dengan kamera pengawas. Adapun, SenseNets Technology telah membiarkan database online yang berisi nama, nomor kartu identitas, tanggal lahir, dan data lokasi secara terbuka selama berbulan-bulan.
"Ini sepenuhnya terbuka dan siapa pun mempunyai hak-hak administratif penuh. Anda bisa masuk ke database untuk membaca, memutakhirkan dan menghapus sesuatu," kata Gevers dilansir Reuters, Senin (18/2).
Cina telah menghadapi kecaman dari para pegiat, pakar, pemerintah asing dan pakar HAM PBB atas apa yang mereka sebut penahanan massal dan pengawasan ketat terhadap kaum minoritas Muslim Uighur dan kelompok-kelompok Muslim lain.
Menurut informasi di lamannya, SenseNets bekerja dengan kepolisian Cina di sejumlah kota. Perusahaan induk NetPosa Technoloies Ltd, yang sahamnya tercatat di bursa Shenzhen, memiliki kantor di sebagian besar provinsi Cina dan kawasan, termasuk Xinjiang.
Dilaporkan CNet, Gevers mengatakan, GDI Foundation telah memberikan teguran kepada SenseNets terkait database yang terbuka tersebut sejak Juli. Namun SenseNets tidak menanggapinya. Peneliti menemukan, ada 1.039 perangkat yang digunakan untuk melacak orang-orang di seluruh Cina.
Adapun Cina akan menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk memantau seluruh warganya. Pada 2020, Cina berencana untuk memberikan skor kredit kepada setiap warganya yang dilacak melalui pengenalan wajah dan frekuensi belanja. Saat ini terdapat sekitar 200 juta kamera pengintai di Cina, yang jumlahnya akan ditingkatkan tiga kali lipat pada tahun depan.
Teknologi itu sering dikritik sebagai pelanggaran privasi karena lembaga pemerintahan dapat melacak warganya secara real time, tanpa melalui persetujuan terlebih dahulu. Sementara itu, di Amerika Serikat (AS), Kepolisian Orlando telah bereksperimen dengan teknologi pengenalan wajah tersebut.