REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Adu serangan dalam sebuah debat adalah hal biasa. Masing-masing pihak bisa saling melempar data dan bantahan. Tak terkecuali dalam debat sekelas Pemilihan Presiden, seperti debat Calon Presiden Indonesia (RI) yang berlangsung Ahad (17/2)
Baik Jokowi maupun Prabowo dianggap sempat melontarkan klaim yang salah, dan masyarakat bisa mencari tahu kebenarannya.
"Kebakaran lahan gambut tidak terjadi lagi dan ini sudah bisa kita atasi. Dalam tiga tahun ini tidak terjadi kebakaran lahan, hutan, kebakaran lahan gambut dan itu adalah kerja keras kita semuanya," kata calon Presiden (Capres) RI, Joko Widodo, dalam debat Capres kedua yang berlangsung di Hotel Sultan Jakarta.
Tak jauh dari lokasi debat, sekitar 24 jurnalis lokal Indonesia langsung merespons dengan memeriksa kebenaran klaim Jokowi. Hasilnya? Klaim yang disampaikan Jokowi disebut tak sesuai fakta.
Menurut penelusuran Cek Fakta, sebuah proyek kolaboratif pengecekan fakta yang diinisiasi oleh Mafindo (Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia) dan bekerja sama dengan beberapa media daring yang tergabung di AJI (Aliansi Jurnalis Independen) serta AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia), klaim Capres pejawat itu tak benar.
Penelusuran mereka menemukan, sejak awal 2018, kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau memakan 5776 hektare dengan rincian kebakaran paling luas terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, yakni sebanyak 1985, 35 hektare. Sementara pada 17 Desember 2018, terlihat kebakaran lahan di Kalimantan Tengah yang termuat dalam foto Badan Nasional Penanggulangan Daerah (BPBD) Kalteng.
Klaim yang melenceng dari fakta juga disampaikan Capres saingan Jokowi, Prabowo Subianto.
"Jadi kalau ada unicorn-unicorn. Ada teknologi hebat, saya khawatir mempercepat uang kita lari ke luar negeri," tutur Prabowo.
Dalam tanggapannya mengenai klaim Prabowo tersebut, Cek Fakta menyebut "Tak ada bukti ekspansi unicorn membuat uang 'lari' ke luar negeri. Pertumbuhan unicorn justru memberi dampak positif."
Pengecekan fakta dilakukan bersama-sama oleh 17 media yang tergabung dalam kolaborasi itu di satu tempat.
"Mereka sebelumnya juga mengadakan pelatihan-pelatihan di antara mereka sendiri, sehingga cara kerja factcheckers (para pemeriksa fakta)-nya sudah aligned, sudah searah," ujar Anita Wahid, presidium Mafindo kepada ABC (18/2).
Saat debat berlangsung, kata Anita, apabila ada data atau informasi yang dikeluarkan oleh kandidat, maka semua media anggota Cek Fakta akan langsung mencari informasi yang mendukung atau menegasikan informasi yang dilontarkan tersebut.
"Kemudian apabila sudah didapat informasi ini, maka beramai-ramai akan mendiskusikan apa memang ada kemungkinan lain di luar informasi yang sering didapatkan misalnya."
Inisiatif itu sendiri telah terjalin sekitar satu tahun dan dibentuk terinspirasi dari kebutuhan para jurnalis untuk memverifikasi informasi.
"Tetapi di saat yang sama mereka juga punya tantangan mengenai bagaimana menghadapi jurnalis-jurnalis banyak yang tidak mengindahkan proses-proses verifikasi tersebut, atau lebih mendahulukan kecepatan dalam pemberitaannya," kata Anita.
Ia menyebut, kolaborasi itu bersifat longgar, artinya masing-masing media anggota punya keleluasaan untuk menerbitkan hasil pemeriksaan itu atau tidak. Kelonggaran itu diakui Ketua AJI, Abdul Manan, sebagai kelemahan kolaborasi Cek Fakta.
"Pertanggung jawaban ke publik-nya memang masing-masing media. Karena itu pertanyaan soal kredibilitas akhirnya memang di masing-masing media. Itu pertanyan yang kami tidak mudah menjawabnya."
"Bagaimana tanggung jawab para inisiator ini jika medianya memilah-milah cerita?," sebut Manan kepada ABC.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.