REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Seorang pria Uighur berkewarganegaraan Australia yang mengkhawatirkan keselamatan istri dan putranya meminta para diplomat negaranya membantu anggota keluarganya keluar dari Cina agar terhindar dari penganiayaan.
Pria itu, yang tidak bisa disebutkan namanya karena alasan keamanan, berhasil membuat aplikasi mendesak ke Pengadilan Banding Administratif (AAT) akhir tahun lalu agar putranya diakui sebagai warga negara Australia. Awalnya Departemen Dalam Negeri menolak permohonan kewarganegaraan atas nama anaknya, tetapi AAT membatalkan keputusan itu tepat sebelum Natal lalu. Anak itu secara resmi diberikan kewarganegaraan Australia pada awal Februari.
Ayah berkewarganegaraan Australia itu belum dapat melihat istrinya, yang juga seorang warga Uighur. Hal itu sejak sebelum ia melahirkan putra mereka pada akhir Agustus 2017, setelah ia melakukan perjalanan ke Australia untuk mendapatkan uang untuk keluarga. Satu-satunya kontak pria itu dengan keluarga dan putranya adalah melalui platform berbagi pesan Cina "WeChat".
Dia mengklaim aplikasi visa untuk mengunjungi keluarganya telah ditolak pejabat Cina. Dia mengatakan istrinya telah diberitahu bahwa putra mereka akan diambil darinya dan diadopsi ke keluarga Han Cina setelah dia berbalik.
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) mengatakan mereka telah "memberikan bantuan konsuler kepada seorang pria Australia yang keluarganya ada di Cina" tetapi tidak mau berkomentar lebih lanjut, dengan alasan kewajiban menjaga privasi.
Australia semakin khawatir tentang jaringan luas kamp-kamp pendidikan ulang yang didirikan oleh Pemerintah Cina di provinsi Xinjiang di bagian barat.
Australia memperkirakan sekitar 1 juta Muslim dari etnis Uighur telah ditahan secara paksa, meskipun angka itu sulit untuk diverifikasi. Tahun lalu pejabat DFAT mengatakan kepada komite perkiraan Senat bahwa tiga warga negara Australia telah ditahan di kamp-kamp di Cina.
Tetapi para aktivis di komunitas Uighur setempat mengatakan 17 warga Australia masih ditahan oleh Cina di Xinjiang, dan telah meminta Koalisi untuk mengintensifkan lobi atas nama mereka. Pria yang mengajukan banding ke AAT mengatakan dia bertemu istrinya pada Oktober 2015 selama perjalanan ke Urumqi, dan mereka menikah dalam upacara keagamaan pada Agustus tahun berikutnya.
Keduanya sempat berbulan madu di Amerika Serikat, sebelum mengunjungi Turki tempat saudara perempuan lelaki itu tinggal. Di situlah istrinya hamil. Dia pergi ke Australia sementara istrinya kembali ke Cina untuk menjadi lebih dekat dengan keluarganya.
Dia mengklaim bahwa tak lama setelah istrinya tiba, dokumen perjalanannya disita. Istri dan putranya telah menghabiskan waktu di kamp pendidikan ulang, katanya.
Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.