REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Korea Utara (Korut) menghadapi kekurangan pangan sekitar 1,4 juta ton pada 2019. Kekurangan pangan dipicu kenaikan suhu, kekeringan, dan banjir.
Korut telah mengirimkan memo kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menangani situasi kekurangan pangan tersebut. "Pemerintah Republik Rakyat Demokratik Korea menyerukan kepada organisasi internasional segera menanggapi penanganan situasi pangan ini," ujar Korut dalam memo yang dituliskan kepada PBB, Jumat (22/2).
Dalam memo tersebut tertulis, produksi pangan Korut pada 2018 sebesar 4.951 juta ton. Jumlah in menurun sekitar 503 ribu juta ton dibandingkan 2017. PBB mengonfirmasi angka-angka ini sebagai data resmi pemerintah yang diberikan pada akhir Januari. Adapun produksi pangan Korut antara lain beras, gandum, kentang, kedelai, dan kacang polong.
Korut menyatakan akan mengimpor 200 ribu ton makanan dan menargetkan produksi sekitar 400 ribu ton. Namun, jumlah tersebut tidak akan menutupi jumlah kekurangan pangan di mana jatah makan harian akan dipotong hingga 300 gram per orang.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric mengatakan, para pejabat Amerika Serikat (AS) dan sejumlah kelompok di Korut sedang berdiskusi tentang kekurangan pangan tersebut. PBB dan kelompok bantuan hanya mampu membantu sepertiga dari kebutuhan pangan Korut.
Adapun pada 2018, PBB memberikan dana bantuan sekitar 111 juta dolar AS dan diperkirakan hanya dapat memenuhi seperempat kebutuhan pangan Korut. Dujjaric mengatakan, PBB memperkirakan sekitar 10,3 juta warga Korut membutuhkan pangan. Selain itu, sekitar 41 persen warga Korut mengalami kekurangan gizi.
Dalam memo tersebut, Korut menuding sanksi AS telah membatasi pengiriman bahan pertanian dan menghambat pasokan bahan bakar untuk sektor pertanian. Bantuan kemanusiaan hampir terhenti pada 2018, ketika AS meningkatkan sanksinya. Dewan Keamanan Korea Utara menyatakan, terhentinya bantuan kemanusiaan tersebut telah merugikan penduduk sipil.
"Sanksi Dewan Keamanan jelas mengecualikan kegiatan kemanusiaan, ada konsekuensi yang tidak diinginkan dalam operasi kemanusiaan tersebut," ujar Dujarric.
Perwakilan Khusus AS untuk Korut Stephen Biegun mengatakan, awal bulan ini AS telah melonggarkan aturan tentang bantuan kemanusiaan ke Korut. Presiden Palang Merah Swedia, Margareta Wahlstrom telah melakukan perjalanan ke Korut pada November lalu.
Dalam perjalanan terssebut, dia melihat jumlah panen hanya mencapai 65 persen dari panen normal. Hal ini disebabkan wabah influenza, gelombang panas, dan topan.
Di sisi lain, Kantor Berita Interfax melaporkan, Rusia sedang mempertimbangkan mengirim 50 ribu ton gandum sebagai bantuan kemanusiaan ke Korut yang sedang menghadapi bencana alam. Hal ini dinyatakan oleh anggota senior parlemen Rusia, Konstantin Kosachev pada pekan lalu.