REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Israel mulai meningkatkan hubungan diplomatiknya dengan negara-negara Afrika. Pada Jumat pekan lalu, misalnya, Israel telah membuka kedutaan pertamanya di Rwanda. Tel Aviv berjanji akan membantu negara kecil tersebut di bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, dan keamanan siber.
Dalam beberapa tahun terakhir, Israel memang sedang berusaha mendekatkan diri dengan negara-negara Afrika. Sejumlah negara di benua itu diketahui telah dengan lantang menyuarakan dukungan terhadap perjuangan Palestina.
Pada Juni 2017, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadiri KTT Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS). Pada perhelatan tersebut, Netanyahu melakukan pertemuan dengan 10 pemimpin Afrika.
Di tahun yang sama, Netanyahu juga mengunjungi Kenya dan bertemu 11 kepala negara Afrika lainnya. Penguatan hubungan diplomatik menjadi topik utama dalam pertemuan mereka.
Bantuan keuangan dan manfaat di bidang perekonomian dianggap menjadi salah satu faktor yang mendorong negara-negara Afrika membuka hubungan diplomatik dengan Israel. "Saya pikir negara-negara Afrika yang menjalin hubungan dengan Israel dapat melihat manfaat ekonomi yang akan mereka dapatkan ini, tentu akan mengurangi beberapa dukungan solidaritas untuk Palestina," ujar profesor emeritus di Universitas Afrika Selatan Shadrack Gutto, dikutip laman Anadolu Agency, Selasa (26/2).
Namun Gutto meyakini, peningkatan minat Israel di Afrika tidak hanya sebatas pada diplomasi. Tel Aviv juga memiliki kepentingan ekonomi besar di benua tersebut. Dia yakin, salah satu kepentingannya adalah menjual senjata.
"Penjualan senjata bukan bidang wacana populer dan jarang muncul di media," kata Butto.
Iqbal Jassat, anggota Media Review Network, sebuah kelompok advokasi di Afrika Selatan menilai, kehadiran Israel yang meningkat di Afrika dapat berdampak pada perjuangan kebebasan Palestina dan solidaritas yang menjadi sandarannya.
Jassat berpendapat, terobosan yang coba dilakukan Israel di Afrika adalah melalui rezim yang memiliki kredensial demokrasi yang dipertanyakan. Hal itu muncul dari posisi putus asa Israel.
"Israel sadar bahwa kedudukannya di Eropa berada pada posisi terlemah, sekalipun hubungan yang mereka nikmati dengan formasi pemerintah sayap kanan di sana," ujar Jassat.
Dia meyakini Israel sadar bahwa terlepas dari perlindungan ekonomi dan politik yang diterimanya dari pemerintahan Donald Trump, kemampuannya memproyeksikan diri sebagai demokrasi liberal yang progresif sangat dibatasi.
Jassat percaya bahwa gerakan pembebasan Palestina, yang telah membentuk aliansi berharga dengan banyak organisasi anti-kolonial di Afrika akan merasa dikhianati oleh kemunafikan beberapa negara Afrika. "Pesan untuk (Uni Afrika) dan benua Afrika jelas, Israel adalah rezim pemukim kolonial yang telah merampas dan menduduki Palestina. Membiarkannya ikut campur di Afrika berarti mengundang masalah," ujarnya.
Penulis dan aktivis Suraya Dadoo meyakini meningkatkan kehadiran Israel di Afrika bukanlah sesuatu yang dikhawatirkan orang-orang Palestina. Dia melihat di forum-forum besar seperti Uni Afrika, Gerakan Non-Blok, dan PBB, Palestina masih memperoleh dukungan.
"Ketika kelompok Afrika berbicara di PBB, pernyataan itu tentu saja mengakui bahwa Israel adalah penjajah dan ia melanggar hukum internasional," kata Dadoo.
Ia tak memungkiri bahwa negara-negara Afrika memang sangat tertarik menggunakan teknologi Israel, khususnya di bidang pertanian dan air. "Tapi ketika datang ke pemungutan suara di forum internasional dan mengeluarkan pernyataan, saya tidak berpikir Israel telah mampu membeli terlalu banyak negara Afrika," ujarnya.