REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komisi penyelidikan Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB mengindikasikan bahwa tentara Israel melakukan kejahatan perang. Hal tersebut berkaitan dengan tewasnya lebih dari 189 warga Palestina di Jalur Gaza yang mengikuti aksi "Great March of Return" antara Maret-Desember 2018.
Komisi penyelidikan Dewan HAM PBB mengatakan, lebih dari 6.000 demonstran tak bersenjata ditembak oleh penembak jitu Israel di titik-titik aksi Great March of Return. Korbannya termasuk anak-anak, petugas dan relawan medis, serta jurnalis.
Menurut komisi tersebut, pada periode Maret-Desember 2018, sebanyak 3.098 orang terluka oleh fragmentasi peluru, peluru logam berlapis karet atau tabung gas air mata. Salah satu ahli yang menjadi anggota di komisi penyelidikan Dewan HAM PBB, Sara Hossain, mengatakan tindakan tentara Israel tidak dapat dibenarkan.
"Tidak ada pembenaran untuk membunuh dan melukai jurnalis, petugas medis, dan orang-orang yang tidak memiliki ancaman kematian atau cedera serius terhadap orang-orang di sekitar mereka. Yang paling mengkhawatirkan adalah penargetan anak-anak serta orang-orang cacat," ujar Hossain pada Kamis (28/2).
Oleh sebab itu, komisi penyelidikan Dewan HAM PBB menilai individu pasukan keamanan Israel kemungkinan telah melakukan kejahatan perang. "Ini pelanggaran serius hak asasi manusia dan hukum humaniter, mungkin merupakan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan," katanya.
Komisi penyelidikan juga sempat mencatat pernyataan Israel bahwa aksi demonstrasi di Jalur Gaza bertujuan menutupi "kegiatan teror" oleh kelompok-kelompok bersenjata Palestina. Israel menuding beberapa demonstran merupakan anggota kelompok tersebut.
Namun, komisi penyelidikan menyimpulkan bahwa demonstrasi di Jalur Gaza pada Maret-Desember 2018 bersifat sipil. Tujuan politiknya pun dinyatakan secara jelas. Meskipun terdapat beberapa tindakan kekerasan yang signifkkan, itu bukan merupakan pertempuran atau kampanye militer.
Ketua komisi penyelidikan Dewan HAM PBB Santiago Canton mengatakan sekarang tanggung jawab ada pada Israel untuk menyelidiki setiap korban luka dan tewas dalan aksi Great March of Return. "Segera, tidak memihak dan independen sesuai dengan standar internasional, untuk menentukan apakah kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan, dengan maksud meminta pertanggung jawaban mereka yang ditemukan bertanggung jawab," ucapnya.
Pejabat Kementerian Luar Negeri Israel, Israel Katz, mengatakan negaranya menolak hasil penyelidikan komisi Dewan HAM PBB. "Teater absurd Dewan HAM PBB sekali lagi menghasilkan laporan yang memusuhi, membenci, dan bias terhadap Israel," ujarnya.
Menurut dia, apa yang dilakukan Israel terhadap demonstran di Jalur Gaza adalah bentuk pembelaan dan pertahanan diri. "Tidak ada yang bisa menyangkal hak Israel untuk membela diri dan kewajiban melindungi warga serta perbatasannya dari serangan kekerasan," kata Katz.
Pada Maret tahun lalu, ribuan penduduk Palestina di Gaza telah menggelar aksi bertajuk Great March of Return di pagar perbatasan Israel. Mereka menyerukan Israel mengembalikan tanah-tanah yang didudukinya pasca Perang Arab-Israel tahun 1948 kepada para pengungsi Palestina.
Selain itu, mereka menyuarakan protes atas keputusan Amerika Serikat (AS) memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Namun, aksi tersebut diberangus Israel.
Pasukan keamanan Isrel di perbatasan Gaza tak segan menyerang para demonstran. Selain meluncurkan gas air mata, disiapkan pula pasukan khusus untuk menembak warga Gaza dari jarak jauh. Kendati diserang secara brutal, aksi Great March of Return tetap dilanjutkan. Hal itu menyebabkan jumlah korban luka dan tewas terus bertambah.