REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- PBB mendesak Bangladesh tak menutup pintu bagi pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Menurut PBB, penting bagi Rohingya untuk menemukan tempat yang aman guna menghindari kekerasan dan konflik.
"Bangladesh sangat murah hati dalam dukungan yang mereka berikan kepada para pengungsi Rohingya. Adalah penting bahwa orang yang melarikan diri dari konflik dapat menemukan tempat yang aman di mana pun mereka pergi," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric di markas PBB di New York, Amerika Serikat (AS), Jumat (1/3), dikutip laman Anadolu Agency.
Pernyataan Dujarric muncul setelah Menteri Luar Negeri Bangladesh Shahidul Haque memberitahu Dewan Keamanan PBB bahwa negaranya tak dapat lagi menerima arus pengungsi Rohingya. "Saya menyesal memberitahu dewan bahwa Bangladesh tidak lagi berada dalam posisi untuk menampung lebih banyak orang dari Myanmar," katanya.
Ia menuding Myanmar mengumbar janji kosong dan berbagai pendekatan penghalang selama melakukan pembicaraan repatriasi. Haque bahkan menyebut tak ada seorang pun pengungsi Rohingya yang ingin dipulangkan ke Rakhine secara sukarela.
"Tidak ada seorang pun Rohingya secara sukarela kembali ke Rakhine karena tidak ada lingkungan yang kondusif di sana," ujarnya.
Pemerintah Myanmar membantah tudingan Bangladesh bahwa pihaknya tak melakukan apa pun untuk memajukan proses repatriasi pengungsi Rohingya. Menurut Myanmar terdapat hambatan fisik dan psikologis yang besar untuk memulangkan para pengungsi.
Duta Besar Myanmar untuk PBB Hau Do Suan mengatakan dibutuhkan kesabaran dalam proses repatriasi pengungsi Rohingya. Ia menegaskan bahwa saat ini negaranya sedang mengupayakan langkah-langkah guna merampungkan misi tersebut.
"Butuh waktu dan kesabaran serta keberanian untuk membangun keyakinan dan kepercayaan diri di antara berbagai komunitas yang berbeda di (Negara Bagian) Rakhine," kata Hau Do Suan.
Gelombang pengungsi Rohingya mulai memasuki Bangladesh pada Agustus 2017, tepatnya setelah militer Myanmar menggelar operasi pemburuan terhadap anggota Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di Negara Bagian Rakhine. Lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri karena takut menjadi sasaran operasi militer Myanmar.
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan meggantungkan hidup pada bantuan internasional.
Pada November 2017, Bangladesh dan Myanmar menyepakati pelaksanaan repatriasi. Tahun lalu, kedua negara memulai proses pemulangan sekitar 2.200 pengungsi. Namun proses tersebut dikritik oleh sejumlah negara, termasuk PBB.
PBB menilai sebelum benar-benar dipulangkan, para pengungsi seharusnya diberi izin untuk melihat situasi serta kondisi di Rakhine. Dengan demikian, mereka dapat menilai dan menyimpulkan sendiri apakah dapat pulang dengan aman ke sana.