Senin 04 Mar 2019 13:50 WIB

Kepala Negara tak Hadiri Penandatanganan FTA Australia-RI

Biasanya perdana menteri Australia hadiri penantanganan kerja sama FTA.

Red: Nur Aini
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla saat menghadiri acara Indonesia-Australia Comprehensive Economic Agreement (IA-CEPA) dan Business Forum di Hotel JS Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (4/3).
Foto: Dok Setwapres
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla saat menghadiri acara Indonesia-Australia Comprehensive Economic Agreement (IA-CEPA) dan Business Forum di Hotel JS Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (4/3).

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Setelah melewati masa negosiasi selama delapan tahun, Australia dan Indonesia akhirnya menandatangani perjanjian perdagangan bebas (FTA) pada Senin (4/3) di Jakarta. Penandatanganan dilakukan Menteri Perdagangan kedua negara tanpa dihadiri kepala pemerintahan.

Perdana Menteri Scott Morrison dan Presiden Joko Widodo dipastikan tidak akan menyaksikan langsung seremoni penandatanganan yang dilakukan Mendag Australia Simon Birmingham dan mitranya Mendag Enggartiasto Lukita.

Pemerintah Australia menepis adanya makna tertentu di balik ketidakhadiran PM Morrison, dengan dalih penandatanganan memang biasanya dilakukan Mendag, bukan kepala pemerintahan. Namun pejanjian serupa antara Australia dengan negara lain sebelumnya menunjukkan hal berbeda.

Misalnya, ketika mantan Mendag Andrew Robb menandatangani FTA dengan Korea Selatan dan Cina pada 2014 dan 2015. Perdana Menteri saat itu Tony Abbott hadir menyaksikan seremoni, menandakan bahwa perjanjian FTA tersebut merupakan prioritas utama bagi pemerintah.

Simbolisme lebih kuat bahkan terlihat saat dilakukan dengan Jepang. Perjanjian dengan negara itu ditandatangani langsung oleh PM Abbott dan PM Shinzo Abe.

Hal yang terjadi di Jakarta hari Senin ini, tampaknya, sebagai upaya agar peristiwa ini jangan terlalu menarik perhatian. Alasan utamanya karena rakyat Indonesia akan memasuki Pemilu bulan depan, di mana isu perdagangan bebas diketahui tidaklah populer di kalangan pemilih.

Pengamat Ben Bland dari Lowy Institute menjelaskan, sikap proteksionis selalu menjadi andalan dalam kampanye pemilu di Indonesia.

"Ada perasaan bahwa Indonesia tak selalu membutuhkan investasi asing. Di masyarakat ada sikap permusuhan terhadap perdagangan bebas atau membuka diri ke negara asing," katanya.

Di sisi PM Morrison juga tampaknya sadar adanya kebencian dari pihak Indonesia atas isu kontroversial mengenai pemindahan Kedutaan Besar Australia ke Yerusalem. Ketika rencana itu disampaikan PM Morrison dalam ajang pemilu sela, Jakarta menyatakan kemarahan dan menjadikan perjanjian FTA jadi taruhannya.

Australia tentu saja ingin memastikan agar ketegangan seperti itu tidak terbuka kembali menjelang pemilu di Indonesia. Dan tentu saja kemungkinan itu mengecil jika PM Morrison tidak ke Indonesia.

Masih perlu diratifikasi

Seremoni penandatanganan FTA kedua negara belum akan menjadi hukum positif sebelum diratifikasi oleh parlemen kedua negara. Dan jelas sekali, pemilu di Australia dan Indonesia sendiri akan menambah ketidakpastian atas hal ini.

Menurut Ben Bland, capres Prabowo Subianto secara terbuka tidak menghendaki perdagangan bebas.

"Bahkan jika Jokowi terpilih kembali, konstelasi parlemen Indonesia akan berubah, sulit untuk diprediksi," katanya.

"Parlemen Indonesia memiliki sejarah mendukung sikap proteksionisme (ekonomi)," ujarnya.

Namun, masih ada jalan keluar jika Parlemen menolak meratifikasi kesepakatan FTA ini. Presiden Jokowi dapat menerbitkan Perppu.

Kalangan pejabat Australia sejauh ini agak senang karena perjanjian FTA ini belum ditarik ke perdebatan politik Indonesia. "Pemerintah Indonesia menampilkan perjanjian ini sebagai cara meningkatkan pelatihan dan keterampilan bagi warga Indonesia, menghindari adanya kesan investor asing datang untuk mengambil kekayaan Indonesia," kata Bland.

Sikap proteksionis tentu saja tidak terjadi di Indonesia saja. Proses ratifikasi ini juga belum bisa dipastikan lolos di Australia. Australia akan menggelar pemilu pada Mei, dan sejumlah politisi oposisi kian skeptis terhadap manfaat dari FTA.

Pemimpin Partai Buruh yang beroposisi Bill Shorten hari ini menyatakan mendukung kesepakatan FTA dengan Indonesia.

"Prinsip kesepakatan perdagangan bebas dengan Indonesia, kami mendukungnya. Saya ingin melihat hubungan ekonomi lebih dekat dan luas dengan Indonesia. Itu sangat penting," katanya.

Namun, Bill Shorten juga memberi peringatan.

"Saya ingin memastikan bahwa pekerja (Australia) tidak dirugikan (oleh FTA)," katanya.

Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2019-03-04/presiden-jokowi-tak-hadiri-penandatanganan-fta-dengan-australia/10867022
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement