Senin 04 Mar 2019 16:27 WIB

Malaysia akan Batasi Luas Perkebunan Kelapa Sawit

Malaysia akan menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Perkebunan Kelapa Sawit, ilustrasi
Perkebunan Kelapa Sawit, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Pemerintah Malaysia berencana menghentikan semua ekspansi perkebunan kelapa sawit. Hal itu dilakukan di tengah penentangan global terhadap produk sawit karena dianggap telah merusak hutan hujan tropis.

Menteri Industri Pokok Malaysia Teresa Kok mengatakan, negaranya akan membatasi lahan perkebunan kelapa sawit seluas 6 juta hektare. "Itu naik dari 5,85 juta hektare pada akhir tahun lalu, yang akan memberikan kelonggaran bagi para petani yang sedang menanam kembali atau yang telah membeli tanah," kata Kok dalam sebuah wawancara pada Jumat pekan lalu, dikutip laman the Straits Times, Senin (4/3).

Baca Juga

Dia mengatakan Malaysia akan mengoptimalkan produktivitas minyak sawit dari perkebunan yang telah tersedia. Rencana itu dijadwalkan dibahas di kabinet pada Maret mendatang. Menurut Kok, langkah tersebut membutuhkan komitmen dan kerja sama dari pemerintah negara bagian. "Karena masalah tanah tertentu berada di bawah yurisdiksi mereka," ucapnya.

Kok tak memungkiri bahwa rencana pembatasan lahan kelapa sawit tak terlepas dari kampanye global, termasuk Uni Eropa, yang menganggap komoditas tersebut telah menjadi penyebab utama hancurnya hutan hujan tropis, yakni rumah bagi satwa langka seperti orang utan. Hal itu memicu sentimen negatif terhadap sawit, termasuk negara yang memproduksinya. "Sekarang kami menanggapi banyak tuduhan dan meluruskannya," ujar Kok.

Bulan lalu, Komisi Eropa mengajukan rancangan undang-undang (RUU) pendelegasian yang mengkalsifikasikan minyak sawit dari perkebunan besar sebagai unsustainable atau tak berkelanjutan. RUU sekaligus menyarankan agar minyak sawit didepak dari target bahan bakar hayati perhimpunan tersebut.

Langkah itu tentu akan mencederai produsen sawit utama dunia seperti Malaysia dan Indonesia. Malaysia menyebut RUU itu diskriminatif dan berpotensi merugikan minyak sawit.

"Serangkaian kebijakan diskriminatif pada minyak kelapa sawit yang diambil Uni Eropa tidak adil. Saya pikir seluruh dunia dapat melihatnya. Mereka hanya mencoba menggunakan lingkungan sebagai lelucon untuk mendiskriminasi minyak sawit," ujar Kok.

Dia mengatakan Malaysia akan mengutus tim ilmuwan untuk menentang metodologi yang membentuk RUU Komisi Eropa. Sementara di dalam negeri, Pemerintah Malaysia telah menggencarkan kampanye bertajuk "Love My Palm Oil" guna mendukung industri sawit.

Negara-negara penghasil sawit yang tergabung dalam The Council of Palm Oil Producing Countries, yakni Indonesia, Kolombia, dan Malaysia, akan bersama-sama menentang RUU Komisi Eropa melalui konsultasi bilateral serta mekanisme di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan pengelompokan regional ASEAN. Indonesia, Malaysia, dan Kolombia diketahui merupakan pemasok 90 persen kebutuhan minyak sawit dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement