REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menilai, nilai tukar rupiah memiliki kecenderungan menguat pada tahun ini. Sebab, faktor pada tahun lalu yang menimbulkan tekanan, kini sudah mulai mereda.
Nanang menyebut permasalahan perang dagang antara Cina dengan Amerika Serikat (AS) sudah menunjukkan penyelesaian. Bank sentral AS The Fed juga diproyeksikan hanya menaikkan suku bunga satu kali atau lebih sedikit dibanding dengan tahun lalu yang mencapai empat kali.
"Kini, tinggal British Exit (Brexit) yang belum selesai," tuturnya ketika ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/3).
Selain itu, Nanang menambahkan, beberapa hal terkait risiko geopolitik juga tidak sebesar dulu. Jadi, ia menyimpulkan, kecenderungannya masih ada ruang untuk menguat, sebab rupiah masih undervalue.
Nanang juga mengatakan, kebutuhan akan valas dalam negeri selalu terpenuhi. Eksportir terus aktif, diiringi dengan kinerja dari para importir. "Inflow cukup deras, sehingga lebih berimbang," tuturnya.
Kondisi tersebut dibantu dengan pasar Domestic Non-Delivery Forward (DNDF). Banyak yang telah melakukan hedging atau strategi trading untuk membatasi dana trader dari fluktuasi nilai tukar mata uang tidak menguntungkan. Dengan hedging, pelaku pasar tidak terburu-buru untuk membeli dolar AS ke pasar spot.