Kamis 07 Mar 2019 13:44 WIB

Huawei: AS Gagal untuk Membuktikan Kami Salah

Pemerintah AS dinilai menghalangi Huawei untuk bersaing di pasar secara adil.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Teguh Firmansyah
Huawei
Foto: EPA
Huawei

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Perusahaan telekomunikasi Cina, Huawei Technologies Co Ltd pada Kamis (7/3) mengkonfirmasi telah menuntut pemerintah AS terkait undang-undang pertahanan yang membatasi bisnisnterakya di Amerika Serikat. Peraturan itu baru disahkan pada tahun lalu.

Huawei mengatakan telah mengajukan gugatan di pengadilan federal di Texas yang menentang Pasal 889 dari Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional (NDAA).  Pasal itu melarang agen-agen federal dan kontraktor mereka dari menggunakan peralatan dan layanan Huawei.

Baca Juga

“Kongres AS berulang kali gagal menghasilkan bukti apa pun untuk mendukung pembatasannya pada produk Huawei. Kami terpaksa mengambil tindakan hukum ini sebagai upaya yang tepat dan terakhir," kata Rotating Chairman Huawei Guo Ping dalam sebuah pernyataan.

Larangan ini, kata ia, tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membatasi Huawei dari terlibat dalam persaingan yang adil. Kondisi itu pada akhirnya merugikan konsumen AS. "Kami menantikan putusan pengadilan, dan percaya bahwa itu akan menguntungkan baik Huawei maupun rakyat Amerika," tambahnya.

Huawei memiliki pangsa pasar yang sangat sedikit di pasar telekomunikasi AS sebelum UU. Huawei adalah produsen peralatan telekomunikasi terbesar di dunia dan berusaha untuk berada di garis depan dalam peluncuran global jaringan dan layanan seluler generasi kelima (5G).

"Mencabut larangan NDAA akan memberi Pemerintah AS fleksibilitas yang dibutuhkan untuk bekerja dengan Huawei dan menyelesaikan masalah keamanan yang nyata," kata Guo.

Dalam gugatannya, Huawei mengatakan peralatan dan layanan mereka tunduk pada prosedur keamanan canggih, dan tidak ada 'pintu belakang', implan, atau kerentanan keamanan.

Pendiri dan Kepala Eksekutif Huawei, Ren Zhengfei mengatakan Huawei, pembuat peralatan telekomunikasi terbesar di dunia, tidak pernah dan tidak akan pernah berbagi data dengan pemerintah Cina.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement