Jumat 08 Mar 2019 18:20 WIB

Caleg Perempuan Maju di Pemilu, Apakah Hanya Penuhi Kuota?

Caleg perempuan harus berjuang menghadapi hambatan di partai dan dapil.

Red: Nur Aini
Seorang perwakilan perempuan bakal calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2019 menunjukkan surat rekomendasi dari Kepolisian saat pengurusan surat keterangan catatan kepolisian ( SKCK) di Polres Lhokseumawe, Aceh, Selasa (26/6).
Foto: Antara/Rahmad
Seorang perwakilan perempuan bakal calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2019 menunjukkan surat rekomendasi dari Kepolisian saat pengurusan surat keterangan catatan kepolisian ( SKCK) di Polres Lhokseumawe, Aceh, Selasa (26/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski banyak calon legislator (caleg) perempuan bermunculan jelang Pemilu Indonesia pada April mendatang, kuota 30 persen untuk perempuan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat masih belum terpenuhi.

Ada sejumlah alasannya, seperti caleg perempuan yang masih harus berjuang menghadapi hambatan yang dialami di dalam partainya sendiri, selain menangani masalah yang dialami warga di daerah pemilihannya (dapil).

Baca Juga

Merayakan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2019, ABC Indonesia menemui lima caleg perempuan Indonesia dari generasi milenial untuk menceritakan kisah perjuangan mereka di dunia politik.

Membuktikan punya kemampuan

Dibesarkan dari keluarga politisi telah memberanikan Putri Komarudin terjun ke dunia politik sebagai caleg DPR dari Partai Golkar. Putri mengaku sudah sering diajak ayahnya Ade Komarudin untuk mengunjungi daerah pemilihan sejak kecil dan terbiasa mendengar masalah sosial yang dialami warga.

"Jadi sekarang mumpung masih muda, apalagi saya orang asli dapil saya, sudah banyak hal yang bikin saya geregetan untuk dibenahi," ujar Putri kepada ABC Indonesia.

Sebagai pendatang baru di panggung politik, ia mengaku perlu bekerja keras untuk memperkenalkan diri kepada konstituennya, yakni dapil 7 Jawa barat meliputi Karawang, Bekasi dan Purwakarta, dengan jumlah pemilih mencapai 4 juta orang.

Menurutnya, masih banyak partai yang belum sepenuhnya percaya dengan kemampuan perempuan, sehingga caleg perempuan yang menempati nomor urut teratas dalam kertas suara masih jarang.

"Mungkin karena perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan secara kapital secara sosial, jadi ditempatkan di bawah pria."

Karenanya, Putri mengatakan caleg perempuan harus menunjukkan bahwa mereka punya kemampuan yang sama dan bukan sekadar untuk memenuhi kuota perempuan di parlemen.

Perempuan jadi penggerak partai

"Dapil neraka" menjadi sebutan bagi daerah yang suara rakyatnya diperebutkan oleh caleg dari kalangan politisi senior dan selebritis. Terdengar menakutkan, tapi tak membuat gentar Atikah Shalihat, 26 tahun, dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk terus semangat mendatangi rumah-rumah warga di dapilnya setiap akhir pekan dan memperkenalkan program yang akan dicapainya.

"Saya berusaha memperkenalkan diri langsung dengan mendatangi rumah warga atau komunitas, warga justru senang didatangi caleg."

"Kalau caleg selebriti atau politisi senior itu sudah sering muncul di TV, jadi biasanya jarang terjun langsung menemui warga, sering kali hanya tim suksesnya saja," ujarnya.

Ia mengaku tekadnya untuk berkantor di Senayan tidaklah mudah, mengingat ada 130 caleg yang bertarung memperebutkan 7 kursi di DPR, di mana 1 kursi "berharga" sekitar 250 ribu suara.

Atikah merasa caleg perempuan memiliki peranan penting dalam tubuh partai, meski mengaku masih ada anggapan kalau keberadaan mereka hanya untuk memenuhi kuota perempuan di parlemen.

"Kalau di PKS, penggeraknya justru perempuan. Karena laki-laki biasanya kerja, turun ke masyarakatnya jarang. Tapi kalau ibu-ibu bisa setiap hari pergi mendatangi warga," ujar Atikah.

Harus lebih peduli soal perempuan

Di usia 35 tahun, Irine Yustianus Roba telah berpengalaman menjadi anggota parlemen selama 4,5 tahun dan tahun ini ia akan kembali menjadi caleg DPR mewakili Daerah Pemilihan Maluku Utara dari Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia.

Irine mengaku janji kampanye yang ia tawarkan tidak muluk-muluk, yakni ingin kembali ke dapilnya setelah dilantik, apalagi melihat ada 3 anggota dewan perempuan asal Maluku Utara sebelumnya yang tidak kembali ke daerahnya.

Tantangan terbesarnya saat ini adalah menyikapi kuatnya polarisasi di masyarakat jelang pemilu dan pilpres, apalagi dapilnya memiliki sejarah konflik yang dipicu isu suku, ras, dan agama.

"Saya katakan jangan pilih saya karena identitas agama atau suku saya, tapi pilih saya karena bapak ibu yakin saya bisa membawa perubahan yang lebih baik di dapil ini."

Alumnus dari Monash University di Australia yang pernah bekerja di Komis 1 dan 10 ini juga ingin anggota dewan perempuan lebih meningkatkan perannya, bukan sekadar meningkatkan jumlah mereka.

"Anggota parlemen yang ada saat ini bukannya tidak perform, tapi mereka harus lebih diberi pemahaman lebih tentang isu-isu yang sensitif gender."

Ia mencontohkan saat pembangunan infrasturktur di era Presiden Joko Widodo meningkat, seharusnya anggota parlemen perempuan lebih pertimbangkan kepentingan perempuan, seperti memberi masukan agar anak tangganya dibuat pendek-pendek demi kenyamanan perempuan.

Irine juga menyayangkan peran anggota DPR perempuan di komisi 8 yang membiarkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditolak, yang dianggapnya "tidak menjadi perhatian mereka untuk diperjuangkan".

Pendidikan politik untuk perempuan

Meski awalnya tak menyukai politik, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, usia 33 tahun, mengaku terjun ke dunia politik di tahun 2013 lewat pengalaman spiritualnya.

"Tiga minggu puasa, tiga minggu pergumulan, pada akhirnya di suatu Jumat saya turun ke lantai bawah [rumah] … mau sarapan, saya angkat koran yang di dalamnya ada satu kasus kekerasan terhadap perempuan," ujarnya yang akrab dipanggil Sara dan merasa langsung terpanggil jadi politisi.

Caleg asal dapil DKI Jakarta 3 yang juga keponakan calon presiden Prabowo Subianto merasa masih kurangnya perempuan di Indonesia yang paham soal hak politik dan bagaimana pilihan politik dapat mempengaruhi masa depannya.

"Berat karena mereka tidak pernah dapat itu sebelumnya. Caleg baru datang, ngomong satu jam, mungkin mereka bingung 'ini apaan?'," ujar pendiri Yayasan Parinama Astha, yang juga pernah jadi aktivis penentang praktik perdagangan manusia.

"Tapi saya enggak bisa ngobrol soal isu perdagangan manusia … karena mereka kurang paham."

"Saya bicara kondisi Indonesia sudah separah apa sih? Saya berbicara tentang bagaimana kita sudah mulai kehabisan batubara, minyak, gas.

Menurutnya kurangnya perempuan di DPR disebabkan karena alasan ekonomi, politik, dan budaya patriarkal.

"Kalau kita bicara budaya patriarkal, banyak perempuan yang tidak mapan secara ekonomi untuk mereka maju [menjadi caleg] tanpa bantuan dari suami," ujar Sara sambil juga mengatakan pentingnya mendapat restu dari suami.

Kualitas lebih penting dari gender

 

Pengalamannya sebagai profesional di sektor swasta yang banyak berhadapan dengan pemerintah membuat Dini Santi Purwono memutuskan beralih menjadi politisi.

"Saat itu saya sering frustasi, kenapa ini begini? Kenapa mereka (pejabat publik) banyak tidak tahunya?," tutur Dini kepada ABC.

Dini merasa gemas karena Indonesia tidak bisa maju cepat dibandingkan dengan negara-negara tetangga, khususnya Singapura, yang ukurannya jauh kecil.

Lulusan Harvard University ini kemudian memutuskan menjadi caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dari dapil Jawa Tengah I, dengan fokus utama pembenahan di sektor publik.

"Kalau tidak dijalankan oleh orang-orang yang profesional, yang punya kemampuan memadai untuk menjalankan tugasnya, ya pasti enggak akan maju negara ini," katanya yang juga seorang praktisi hukum.

Ia mengatakan, meski kuota 30 persen perempuan di DPR belum terpenuhi, seharusnya hal tesebut bukan jadi sorotan utama.

"Jadi kualitas sumber daya itu memang penting."

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2019-03-08/tantangan-caleg-perempuan-milenial/10866268
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement