Jumat 08 Mar 2019 22:18 WIB

Di Betawi Ada Tanjidor, di Mesir Ada Hasaballah Asal Ottoman

Seni ini sangat diinspirasi grup marching band era Ottoman

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Hasaballah Mesir
Foto: Aljazeera
Hasaballah Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Mesir tidak hanya dikenal dengan piramidanya. Namun, negara Afrika ini juga memiliki musik rakyat yang legendaris dan masih bergema di kalangan orang Mesir saat ini. Seni musiknya mirip tanjidor yang populer di kalangan masyarakat Betawi.  

Lebih dari 150 tahun yang lalu, seorang musisi memulai karier di Jalan Mohammed Ali Kairo, ibu kota Mesir. Area itu memang merupakan pusat untuk para musisi Arab, penari perut dan pembuat instrumen, yang juga berdekatan dengan rumah opera, bioskop, dan teater. 

Baca Juga

Adalah Mohammad Hasaballah, yang menciptakan band kuningan kala itu. Musik ini menjadi sangat populer, sehingga melahirkan seluruh genre musik. 

Hasaballah sendiri adalah pemain alat musik klarinet di sebuah band militer pada masa Abbas Helmi, seorang Khedive (bangsawan) dari Mesir di bawah kekaisaran Ottoman. Hasaballah diajar oleh orang Italia. Ketika dia pensiun dari tentara, dia mendirikan band sendiri.   

Para pemainnya terlatih secara klasik dan pandai mengulang nada. Band Hasaballah mengubah lagu-lagu cinta Mesir yang populer menjadi gaya yang menjadi sangat populer di acara pernikahan, pesta, dan perayaan nasional. Bahkan, musik ini menyebar ke bagian dunia Arab lainnya. 

Departemen Penampilan Populer di Akademi Seni, Mohammed Shabana, mengatakan Hasaballah kemudian dikenal menjadi musik rakyat dan memiliki perkembangan penting di bidang musik di Mesir.   

"Mereka mengubah musik dari formal, gaya barat, menjadi musik populer," kata Shabana, dilansir dari Aljazeera, Jumat (8/3). 

Gaya dan preferensi musik telah berkembang selama 100 tahun terakhir. Shabana percaya Hasaballah akan selalu memuaskan dan menyesuaikan dengan kebutuhan. 

Menurutnya, Hasaballah berinteraksi dan menyajikan musik yang menarik bagi selera orang Mesir. Selain itu, kata dia, Hasaballah juga menebar kegembiraan di antara mereka yang mengundang band tersebut dan menjadi mereka bagian dari perayaan dan kebahagiaan mereka.  

"Ini adalah ruang terbuka, memungkinkan interaksi antara pemain dan pendengar dan antara tetangga dan teman-teman yang ikut serta dalam perayaan bersama," lanjutnya. 

Shabana mengatakan, Hasaballah yang legendaris ini telah berhasil mengukir namanya dan menjadi band dengan koleksi kenangan artistik Mesir. 

Ayman Mahmoud, dari Fakultas Sastra di Universitas Suez, mengatakan ada dua jenis musik untuk perayaan sosial dan musik elit lainnya. 

Ia mengatakan, musik elite dimainkan di istana keluarga Mohammed Ali Pasha. Sedangkan musik populer dimainkan dalam pernikahan dan perayaan populer. "Hasaballah mengadopsi kedua gaya itu," ujarnya.

Setelah kematian Mohammad Hasaballah, beberapa band bergaya Hasaballah muncul. Izzat Fayoumi (69) memulai band gaya Hasaballah-nya sendiri pada 1970. 

Fayoumi mengungkapkan ia tidak belajar musik atau notasi. Melainkan, mereka belajar dengan mendengarkan.  

"Kami mendengar musik satu atau dua kali dan kemudian kami memainkan," ujarnya. 

Namun, Hasaballah kini tidak lagi ditampilkan di istana untuk pejabat atas masyarakat Mesir atau dalam film. Kendati begitu, banyak orang Mesir yang masih memiliki kesenangan akan Hasaballah hingga hari ini.  

Generasi baru musik kemudian meneruskannya dan menemukan cara baru untuk membuat Hasaballah tetap hidup dengan mengadaptasinya dengan instrumen dan ritme baru. Hasaballah tetap dengan gaya jalanannya, tapi diberi sentuhan modern.   

Anggota Hasaballah Marching Band, Abdel Azim Mohammed, mengatakan mereka mengadopsi jajaran musik Hasaballah dari trumpet, trombone, bass, dan snar dram. Menurutnya, semua musik yang mereka mainkan adalah jazz.  

"Ritme yang berbeda menciptakan gaya musik yang berbeda, seperti funk dan salsa. Kami memainkan funk dan salsa," kata Mohammed. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement