REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Jatuhnya pesawat Ethiopian Airlines jenis Boeing 737 MAX dalam perjalanan dari Addis Ababa ke Nairobi (Kenya) membuat Ethiopia mendapat perhatian internasional.
Namun diperkirakan bahwa jatuhnya pesawat tersebut tidak akan terlalu banyak merusak reputasi maskapai tersebut. Hal itu karena fokus lebih banyak ditujukan kepada pesawat jatuh dan bukan pada siapa pemiliknya.
Ini disebabkan karena Ethiopian Airlines disebut-sebut sebagai maskapai penerbangan paling besar dan paling sukses di Afrika saat ini.
Pada 1980-an, kekeringan melanda sebagian besar negara tersebut dan menyebabkan jutaan orang menderita kelaparan, maka cerita mengenai keberhasilan Ethiopian Airlines merupakan salah satu cerita positif dari benua tersebut.
Maskapai ini terpilih sebagai maskapai terbaik di Afrika pada 2018, karena pelayanan yang efisien, catatan keamanan yang bagus, dan jaringan penerbangan yang luas, dan harga tiket yang terjangkau. Selain itu, Ethiopian Airlines juga merupakan salah satu dari sedikit maskapai penerbangan di benua tersebut yang meraup keuntungan.
Sejak didirikan pertama kali pada 1945 oleh Kaisar Ethiopia ketika itu Haile Selassie. Ethiopian Airlines masuk dalam jaringan Star Alliance pada 2011, di mana mereka bergabung dengan perusahaan lain sehingga membentuk jaringan internasional. Sekarang perusahaan tersebut memiliki 111 pesawat dan terbang ke 106 kota internasional dan 23 penerbangan domestik.
Maskapai penerbangan milik pemerintah itu berhasil mengalahkan pesaing dari sesama benua seperti Kenya Airways dan South African Airways. Dua negara yang lebih stabil secara politik, Kenya dan Afrika Selatan selama belasan tahun terakhir.
Ethiopian Airlines menarik perhatian minggu lalu ketika memperingati Hari Perempuan Internasional dengan semua awak pesawat adalah perempuan dalam penerbangan dari Addis Ababa ke ibu kota Norwegia Oslo.
Berbicara mengenai kecelakaan Boeing 737 MAX milik Ethiopian Airlines pada Ahad yang menewaskan 157 orang di dalamnya, pakar penerbangan Alex Macheras mengatakan fokus perhatian lebih banyak ditujukan kepada pesawatnya dibandingkan maskapai.
"Ethiopian Airlines adalah salah satu maskapai paling aman di Afrika. Mereka mengoperasikan jaringan rute yang luas, dan dihormati secara internasional karena catatan keamanan di seluruh dunia."
"Itulah mengapa mereka diizinkan terbang ke mana-mana," kata Macheras kepada Aljazirah.
Sejumlah kecelakaan sebelumnya
Menurut catatan BBC, sejak usaha memodernkan pesawat Ethiopian Airlines di tahun 2011, maskapai itu memiliki armada pesawat termuda yaitu 5,4 tahun.
Penerbangan lain seperti British Airways, usianya rata-rata 13,5 tahun, dan dua maskapai di Amerika Serikat United Airlines 15 tahun dan American Airlines 10,7 tahun.
Namun walau sekarang termasuk paling aman, di masa lalu, ada empat kecelakaan besar yang dialami oleh Ethiopian Airlines.
Kecelakaan sebelumnya adalah di tahun 2010 ketika pesawat ET409 terbakar lima menit setelah lepas landas dari ibu kota Lebanon, Beirut dan jatuh ke Laut Tengah, sekitar 3 kilometer lepas pantai Lebanon dan menewaskan 89 orang di dalamnya.
Di tahun 1988, 35 orang tewas ketika mesin pesawat Ethiopian Airlines menyedot burung merpati, dan pesawat terbakar ketika mendarat darurat di bandara Dahir Bar di Ethiopia.
Pada 1996, pesawat Boeing 767 maskapai tersebut dibajak dan kehabisan bahan bakar dalam perjalanan dari Addis Ababa ke Nairobi (Kenya). Pesawat kemudian jatuh di Lautan India di dekat Kepulauan Comoros menewaskan 125 dari 175 penumpang.
Pertumbuhan ekonomi Ethiopia sekarang semakin baik
Keberhasilan maskapai Ethiopian Airlines menjadi maskapai penerbangan terbesar di Afrika tidak terlepas dari perkembangan ekonomi yang semakin membaik di negara tersebut. Menurut perkiraan Dana Moneter Internasional, pertumbuhan ekonomi Ethiopia mencapai 8,5 persen di tahun 2018, dan sekarang menjadi negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi di negara sub-Saharan Afrika pada 2018.
Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada 2018 adalah 2,9 persen, sementara di Uni Eropa 2,4 persen dan di Jepang 1,2 persen. Namun Ethiopia masih harus disebut sebagai negara miskin. Di Afrika saja, pendapatan per kapita penduduk di sana adalah 2.113 dolar AS dan menempatkan mereka di posisi ke 35.
Negara dengan pendapatan kapita terbesar adalah Gini Equatorial dengan lebih dari 34 ribu dolar AS. Afrika Selatan berada di peringkat 7 dengan 13 ribu dolar AS dan Kenya di tempat 25 dengan 3.496 dolar AS. Sebagai perbandingan pendapatan per kapita Indonesia adalah 3.846 dolar AS.