REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Utusan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB), Yanghee Lee memperingatkan Bangladesh akan ada krisis baru jika pemindahan 23 ribu pengungsi Muslim Rohingya ke pulau tak berpenghuni dilakukan. Lee yang mengunjungi kamp pengungsi Bhasan Char baru-baru ini menilai pulau yang diberi nama Teluk Bengal benar-benar tak layak huni.
"Relokasi yang tak direncanakan tanpa persetujuan para pengungsi, memiliki potensi menciptakan krisis baru," ujarnya sperti dilansir Aljazirah, Selasa (12/3).
Pulau itu tak layak karena berlumpur dan kerap banjir selama musim hujan. Di sana, menurut pengungsi, juga hanya sedikit peluang untuk mata pencaharian.
Sebetulnya pemerintah Bangladesh keberatan relokasi pengungsi. Namun pada akhirnya pemerintah Bangladesh juga akan memindahkan 100 ribu Muslim Rohingya ke Teluk Bengal. Alasannya, relokasi akan mengurangi tekanan pada kamp.
Lebih dari 730 ribu Muslim Rohingya mengungsi di kamp-kamp yang penuh sesak di Bangladesh. Mereka melarikan diri dari pembakaran rumah, pembunuhan, dan pemerkosaan yang dilakukan militer Myanmar sejak akhir 2017.
Seorang aktivis Rohingya, Nay San Lwin mengatakan, percaya bahwa satu-satunya cara pejabat bisa membuat orang pindah ke pulau itu adalah secara paksa. "Semua orang di kamp akan menolak dengan pasti. Tidak ada yang mau dipindahkan dari Bhasan Char," katanya.
Pernyataan Lee datang saat dia menyampaikan temuan laporan berdasarkan kunjungan yang dia lakukan ke Thailand dan Bangladesh pada Januari.
Lee mengatakan, kepada Dewan Hak Asasi Manusia pada Senin bahwa lebih dari 10 ribu warga sipil telah meninggalkan rumah mereka di negara bagian Rakhine Myanmar sejak November tahun lalu karena kekerasan dan kurangnya bantuan kemanusiaan.
Dalam laporannya lagi, Lee mengatakan, bentrokan di Rakhine telah menyebabkan kematian beberapa warga sipil, termasuk anak-anak. Dia juga menyatakan keprihatinan serius pada keputusan pemerintah negara bagian Rakhine untuk menginstruksikan badan-badan bantuan menangguhkan kegiatan mereka di beberapa daerah di negara itu pada Januari.
"Langkah itu merupakan pelanggaran terhadap kewajiban kemanusiaan internasional Myanmar untuk memungkinkan akses bagi lembaga-lembaga bantuan," katanya.