Kamis 14 Mar 2019 02:25 WIB

Tentara Arakan Minta Pengungsi Rohingya Tahan Diri

Tentara Arakan dtuding terkait dengan kasus kekerasan terorganisir di kamp pengungsi.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Sejumlah pengungsi Rohingya antri untuk mendapatkan paket makanan dari relawan Indonesia di Kamp Pengungsian Kutupalong, Cox Bazar, Bangladesh, Minggu (1/10).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah pengungsi Rohingya antri untuk mendapatkan paket makanan dari relawan Indonesia di Kamp Pengungsian Kutupalong, Cox Bazar, Bangladesh, Minggu (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) meminta para simpatisan dan pengikutnya menahan diri dan tidak melakukan tindak kejahatan di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Seruan itu dilakukan menyusul terbitnya laporan pembunuhan dan penculikan yang ditudingkan ke kelompok tersebut.

ARSA mengkritisi pemberitaan media yang berbasis di Bangladesh karena telah mengaitkannya dengan kasus kekerasan terorganisir di kamp-kamp pengungsi, termasuk serangkaian pembunuhan. ARSA mengakui adanya kejadian tersebut, tapi membantah pimpinannya menyetujuinya.

Baca Juga

"Orang-orang itu tidak hanya menentang Pemerintah Bangladesh, tapi juga membuat ARSA bertanggung jawab atas kejahatan mereka. Dan karena aktivitas mereka, seluruh komunitas difitnah di seluruh dunia," kata ARSA dalam sebuah pernyataan video yang diunggah melalui akun Twitter-nya pada Rabu (13/3).

Terlepas dari pemberitaan yang mengambinghitamkan kelompoknya atas serangkaian kasus pembunuhan, ARSA tetap mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Bangladesh. Oleh sebab itu, ARSA meminta para pengungsi Rohingya, termasuk para simpatisan, agar tidak melanggar peraturan dari otoritas berwenang di sana.

Kelompok itu pun menegaskan masih akan melanjutkan misinya menentang Pemerintah Myanmar. "Kegiatan kami untuk hak-hak kami yang sah sedang berlangsung melawan pemerintah teroris Myanmar dan genosida militer," katanya.

ARSA adalah kelompok yang kerap menyerang aparat keamanan dan tentara Myanmar di Rakhine. Pada Agustus 2017, mereka menyerang pos militer Myanmar di luar Rakhine. Serangan tersebut menewaskan beberapa tentara Myanmar.

Setelah kejadian itu, militer Myanmar segera melakukan operasi pemburuan terhadap anggota ARSA di Rakhine. Operasi tersebut menjadi cikal bakal terjadinya krisis pengungsi Rohingya.

Dalam operasinya, tentara Myanmar bertindak brutal dan tak pandang bulu. Mereka memberondong warga sipil Rohingya dengan tembakan dan membakar permukimannya. Tak hanya itu, mereka juga dilaporkan memperkosa wanita-wanita Rohingya.

Operasi militer itu menyebabkan orang-orang Rohingya berbondong-bondong meninggalkan Rakhine menuju Bangladesh. Saat ini terdapat lebih dari 700 ribu pengungsi Rohingya di wilayah perbatasan Bangladesh, Cox's Bazar.

Sementara itu, sebuah tim dari kantor kejaksaan Pengadilan Pidana Internasional (ICC) telah menuntaskan kunjungannya selama beberapa pekan ke kamp-kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar pada Senin (11/3). Direktur Yurisdiksi, Divisi Pelengkap, dan Kerja Sama ICC Phaksio Mochochoko mengatakan berupaya membuat kemajuan dalam penyelidikan awal krisis Rohingya.

"Kami berkomitmen membuat kemajuan berkelanjutan pada proses pemeriksaan pendahuluan," ujar Mochochoko, dikutip laman Anadolu Agency.

Namun, dia menegaskan pemeriksaan pendahuluan bukanlah sebuah investigasi. Itu merupakan penilaian berdasarkan kriteria Statuta Roma guna memutuskan apakah penyelidikan terhadap situasi Rohingya yang sedang berlangsung diperlukan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement