Sabtu 16 Mar 2019 02:37 WIB

Penembak Masjid di Selandia Baru Adalah Teroris

Peristiwa penembakan itu masuk dalam konvensi internasional Pasal 2 ayat 1.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Esthi Maharani
Polisi menjauhkan orang-orang  setelah penembakan yang mengakibatkan banyak kematian dan cedera di Masjid Al Noor di Deans Avenue di Christchurch, Selandia Baru, (15/3 2019).
Foto: EPA-EFE/Martin Hunter
Polisi menjauhkan orang-orang setelah penembakan yang mengakibatkan banyak kematian dan cedera di Masjid Al Noor di Deans Avenue di Christchurch, Selandia Baru, (15/3 2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aksi brutal penembakan terhadap jamaah Masjid Al Noor dan Masjid Linwood Kota Christchurh, Selandia Baru, jika di ukur dengan konvensi internasional sangat jelas aksi tersebut bisa dikategorikan tindak pidana terorisme. Hal ini diungkapkan oleh Pengamat Terorisme, Harits Abu Ulya, yang menyebutkan ini masuk dalam konvensi internasional Pasal 2 ayat 1.

Di sana disebutkan, unsur-unsur tindak pidana terorisme pada pokoknya adalah; seseorang atau siapapun juga, melanggar hukum dan disengaja, meledakan alat peledak atau alat yang mematikan lainnya  terhadap tempat umum atau fasilitas lainnya, dengan maksud menyebabkan kematian atau cidera atau perusakan tempat atau kerugian ekonomi yang begitu hebat.

“Jadi, dunia dipertontonkan aksi terorisme super biadab. Dan tidak diragukan lagi pelakunya adalah teroris,” ucap Harits dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/3).

Dari peristiwa ini, memberikan bukti dan indikasi kuat bahwa pada aspek pengawasan aparat terkait isu ancaman keamanan (terorisme) hanya muslim yang menjadi fokus target, tapi tidak bagi mereka orang-orang non muslim. Jika pihak otoritas setempat, atau pemimpin-pemimpin dunia, atau media mainstream, tidak melabeli kasus ini sebagai aksi biadab terorisme, maka semakin jelas adanya persekongkolan global dan sistemik bahwa war on terrorism adalah perang terhadap Islam dan umatnya.

“Ternyata orang-orang di luar Islam tidak punya sikap moderat seperti iklan wajah masyakarat barat yang selama ini di propagandakan. Dengan kedok dan isu terorisme, justru mereka mengembangkan sikap intoleran dan radikal brutal, serta sistemik memojokkan Islam dan umatnya. Muslim pada posisi dicurigai, mereka tidak siap menghadapi pertumbuhan dan kehadiran muslim dalam masyarakat mereka,” papar Harits.

Pada hakekatnya, kata dia, doktrin pluralisme dan moderatisme barat hanya pepesan kosong. Banyak realitas yang ditampilkan barat (negara dan masyarakat non muslim) tidak relevan dengan doktrin di atas. Aksi terorisme baik yang dilakukan negara (state terrorism) maupun oleh individu dan kelompok dengan menarget dunia Islam atau orang-orang muslim, menunjukkan wajah dan karakter asli barat terkait relasi barat dengan dunia Islam.

“Ancaman aktual dan potensial terhadap komunitas Islam di berbagai belahan dunia, bisa datang dari kelompok-kelompok ultra radikal dengan melakukan aksi terorisme, genocida, atau aksi-aksi biadab anti kemanusiaan lainnya,” kata Harits.

Menurut dia, banyak pihak dengan standar gandanya merasa kelu untuk mengatakan kasus di Selandia Baru ini sebagai aksi terorisme. Barangkali, kata dia, kejujuran, obyektifitas dan nalar sehat telah rontok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement