Ahad 17 Mar 2019 05:57 WIB

Angka Penjualan Senjata di Selandia Baru Melonjak

Rencana pengetatan aturan kepemilikan senjata memicu 'pembelian panik' oleh warga.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Andri Saubani
Teror Masjid Christchurch. Suasana di depan masjid Al Noor di Jalan Deans, Christchurch, Sabtu (16/3), sehari usai insiden teror yang menewaskan 49 orang.
Foto: EPA
Teror Masjid Christchurch. Suasana di depan masjid Al Noor di Jalan Deans, Christchurch, Sabtu (16/3), sehari usai insiden teror yang menewaskan 49 orang.

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern berjanji untuk memperketat undang-undang senjata pascaserangan teror masjid di Kota Christchurch. Pernyataan itu kemudian mengakibatkan lonjakan angka penjualan senjata di negara tersebut.

Seperti Newsroom.co.nz, pemilik toko senjata daring maupun luring menginformasikan adanya lonjakan penjualan di gerai mereka pada Sabtu (16/3) pagi. Termasuk, toko senjata Gun City cabang Christchurch yang sibuk melayani pelanggan.

Mereka mengunggah daring fenomena "pembelian panik" itu. Orang-orang menyerbu toko untuk membeli senjata api. Kiwi Gun Blog merilis di halaman grup Facebook tentang angka bagus dari penjualan senjata semi-otomatis dan amunisi.

Hal itu senada dengan pemilik toko senjata Auckland yang mencatat peningkatan signifikan angka penjualan senjata semi-otomatis. Namun, dia enggan memberitahukan harga dan berapa banyak stok yang tersisa di toko.

Pelaku teror Christchurch juga menggunakan senjata semi-otomatis saat menembaki Muslim yang beribadah di dua masjid, pada Jumat (15/3). Saat diamankan polisi, tersangka utama Brenton Tarrant memiliki dua senjata di dalam mobil dan sebuah alat peledak.

PM Jacinda Ardern mengatakan, Tarrant memiliki total lima senjata api. Fakta bahwa dia bisa mendapat akses kepada sejumlah tipe senjata itu menunjukkan hukum senjata di Selandia Baru belum sesuai dan ideal.

Masih timbul pertanyaan tentang bagaimana wujud tanggung jawab atas serangan teror Christchurch. Belum diketahui seperti apa cara pemerintah memperketat lisensi senjata atau membatasi akses senjata yang dimodifikasi secara ilegal.

Pakar senjata mengatakan, senapan yang digunakan Tarrant di masjid pertama adalah senjata semi-otomatis Mossberg 930. Senjata itu memiliki silinder tujuh putaran. Saat pria itu kehabisan amunisi, dia beralih ke AR15.

Sebagai informasi, AR15 adalah senapan olahraga semi-otomatis, dan di antara senjata api yang saat ini paling laris terjual. Menurut situs senjata daring, AR15 sering digunakan untuk berburu rusa dan menembak sasaran kompetitif.

Kedua jenis senjata yang digunakan tersangka bisa didapatkan oleh pemilik lisensi regular kategori A tanpa persyaratan tambahan lain. Walau senjata Tarrant legal dengan lisensi, tapi senapan AR15-nya ilegal karena dimodifikasi dengan mesin besar.

Sesuai pedoman Arms Act pada 1992, senapan semi-otomatis AR15 hanya memiliki kapasitas tujuh putaran. Faktanya, senapan Tarrant memiliki silinder 30 putaran, 40 putaran, dan 60 putaran.

Bagiannya seperti didapatkan dari penjual senjata lokal. Untuk mendapatkan lisensi senjata di Selandia Baru, seseorang harus berusia lebih dari 16 tahun, lulus pemeriksaan latar belakang, dan memiliki dua sanak (saudara atau pasangan).

Menurut polisi, Tarrant tidak memiliki sejarah kriminal dan tidak dikenal polisi di Selandia Baru atau Australia.  Laman Newsroom.co.nz melaporkan, sebelum insiden ini dia tidak masuk dalam daftar polisi atau daftar teroris.

Pria asal Australia itu sesekali datang ke Selandia Baru. Saat bertandang pada November 2017, dia memperoleh lisensi senjata dasar kategori A. Sebulan kemudian, dia mendaftar ke pengecer senjata daring populer tapi tidak membeli apa pun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement