REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Aksi Brenton Tarrant menembak jamaah Muslim di masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada Jumat lalu, telah mengoyak batin keluarganya. Mereka tak menyangka Tarrant bisa melakukan perbuatan sesadis itu.
"Kami semua ditampar, kami tidak tahu harus berpikir apa. Sekarang semua orang baru saja hancur," kata nenek Tarrant, Marie Fitzgerald, Ahad (17/3), dikutip laman The Straits Times.
Paman Tarrant, Terry Fitzgerald awalnya tak percaya keponakannya adalah pelaku penembakan masjid di Christchurch. "Pertama-tama saya berkata, 'tidak, itu tidak mungkin', tapi kemudian saya melihat fotonya," ucapnya.
Menurut Marie, Tarrant tidak pernah menunjukkan dia tertarik atau mengagumi ideologi nasionalis kulit putih. Kendati demikian, hal itu mulai terlihat setelah Tarrant melakukan perjalanan ke Eropa.
"Hanya sejak dia bepergian ke luar negeri, saya pikir anak itu telah berubah sepenuhnya," ujarnya.
Pekerja menggali liang lahat di pemakaman Muslim bagi korban penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru, Ahad (17/3).
Dia mengungkapkan, saat ini ibu dan adik Tarrant yang tinggal di daerah Dunedin, dijaga ketat aparat kepolisian. Bahkan anggota keluarga lainnya tidak diizinkan menghubungi mereka.
"Polisi akan melakukan tugasnya dan melindungi mereka, itulah yang mereka butuhkan, dan tidak ada kontak telepon, mereka mengatakan Anda tidak bisa menghubungi mereka," kata Marie.
Setidaknya 50 orang meninggal dalam insiden penembakan di Christchurch. Sementara lebih dari 30 lainnya masih menjalanin perawatan di rumah sakit.
Tarrant telah menjalani persidangan pada Sabtu. Dia didakwa dengan satu pasal pembunuhan berdasarkan Undang-Undang Kejahatan. Namun, jaksa diperkirakan akan mengajukan tuntutan lain terhadap Tarrant.