REPUBLIKA.CO.ID, 'Alhamdulillah', kata itu yang terucap dari Irfan Yunianto, salah satu korban selamat dari penembakan yang terjadi di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru. Pria asal Yogyakarta itu kini tengah menempuh pendidikan S-3 di University of Otago, Selandia Baru.
Peristiwa nahas tersebut masih melekat di ingatan dosen salah satu universitas di Daerah Istimewa (DIY) tersebut. Walaupun tidak mengalami luka tembak, saat ini ia masih mengalami tekanan psikis akibat kejadian itu.
Sebelum kejadian, tidak terpikir olehnya masjid yang biasa ia datangi untuk menjalankan shalat jumat akan diserang. Terlebih, Selandia Baru dikenal sebagai negara teraman di dunia.
Jumat (15/3) siang itu, jarum jam menunjukkan pukul 13.40 waktu Christchurch, Selandia Baru. Sambil mengendarai sepeda, Irfan datang ke Masjid Al Noor untuk melaksanakan shalat jumat.
Hampir tiap minggu, ia melaksanakan shalat jumat di sana. Memang, lokasi masjid tidak berada jauh dari tempat tinggalnya.
Seperti biasa, sampai di lokasi masjid, ia biasanya langsung memasuki ruang shalat utama. Tak banyak aktivitas dan ruangan pun masih belum terisi penuh dengan jamaah seperti biasanya.
"Tidak banyak jamaah karena memang hujan dari pagi," kata Irfan saat melakukan panggilan video yang disaksikan wartawan di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Senin (18/3).
Siang itu, ia lantas tak langsung masuk ke dalam ruang shalat utama. Hanya melewati dan melihat sekilas. Ia saat itu tengah mengenakan jaket yang sedikit basah, memutuskan untuk tidak shalat di ruang utama.
Di pikirannya, hanya ingin meletakkan jaket basah di ruang shalat kecil yang berada di sebelah kanan ruang shalat utama. Jika ia meletakkan jaket basahnya di ruang shalat utama, ia khawatir hal itu akan mengganggu jamaah lainnya.
"(Saat menuju ruang shalat utama) Saya putuskan belok kanan menuju ke ruang shalat kecil yang biasa digunakan untuk meeting atau seminar. Tapi kalau shalat Jumat, (ruangan kecil) itu juga digunakan," katanya.
Di ruangan itu, ia sempat melakukan shalat tahiyatul masjid. Setelah lima menit, khutbah sebagai tanda akan dimulainya shalat Jumat pun sudah terdengar.
Tepat saat itu, terdengar bunyi tembakan pertama, bahkan dua tembakan sekaligus. Tak terpikir olehnya, bunyi itu merupakan serangan yang dilakukan terhadap jamaah dalam masjid.
Bahkan, ia beranggapan itu hanya bunyi perahu yang meledak atau bunyi alat listrik yang juga ikut meledak. Semakin lama, bunyi itu terus mengaung di seluruh penjuru masjid.
Tak berpikir hal lain lagi, ia langsung memutuskan bahwa bunyi tersebut memang merupakan bunyi suara senapan yang ditembakkan oleh seseorang.
"Beng beng beng beng, this is on fire. Dan itu memang tembakan," ujarnya.
Tanpa pikir panjang, melihat 'emergency exit door' di ruangan tempatnya berada, ia pun langsung mencoba keluar dari ruangan masjid. Bersama jamaah lainnya, ia terus berlari ke belakang masjid dan mencari tempat persembunyian aman agar selamat dari serangan brutal tersebut.
Di tempat parkir mobil, ia bersama beberapa jamaah lainnya mencoba untuk memanjat pagar yang tingginya mencapai dua meter. Karena pagar yang cukup tinggi, mobil pun menjadi pijakan agar dapat mencapai bagian atas pagar dan keluar dari lingkungan masjid.
Berhasil memanjat pagar, ia pun masuk ke rumah warga yang jaraknya tidak jauh dari lokasi masjid, hanya sekitar 50 meter.
Di sana, ia ternyata tidak sendiri. Banyak jamaah lainnya yang juga bersembunyi menyelamatkan diri di rumah seorang warga yang tidak ia sebutkan namanya tersebut.
Dalam rumah itu, ada sekitar 17 orang yang sembunyi. Satu orang mengalami luka tembak di bagian punggung dan satunya terkena tembak di bagian kaki.
"Kondisi panik saat itu. Ada orang minta tolong dan mencoba menghentikan pendarahan," ujarnya.
Dalam situasi serba tegang, ia lantas tak hilang akal. Ia mencoba menghubungi siapa saja yang mungkin bisa diraihnya.
"Bersyukur karena saat kejadian saya masih bisa berpikir jernih. Saya kontak orang-orang yang perlu dihubungi," kata Irfan.
Tidak menghubungi polisi karena ia yakin sudah ada yang telah menghubungi lebih dulu. Sehingga, ia mencoba menghubungi supervisor kampus tempat ia menempuh pendidikan.
Alasannya, untuk memberi peringatan supaya orang yang ada di kampus tidak menuju lokasi kejadian. KBRI dan teman-temannya yang ada di lab penelitian di kampusnya pun juga tak lupa ia hubungi.
"Saya angkat telfon ke udara untuk menyampaikan penembakan masih berlangsung," ujarnya.
Saat berada di dalam rumah itu, ada seorang jamaah yang melihat video langsung penembakan yang ditayangkan oleh si pelaku. Hal itu guna memastikan dan mengenali sebagian jamaah yang telah menjadi korban melalui video itu.
Sekitar sepuluh menit setelah penembakan pertama yang ia dengar, suara sirine pun datang. Ia menganggap itu suara ambulance dan polisi yang datang untuk melakukan pengamanan dan evakuasi terhadap jamaah yang sudah menjadi korban penembakan.
Walaupun mendengar suara sirine, ia tak langsung keluar. Begitu pun dengan jamaah lainnya yang berada di rumah tersebut.
Selama lima jam mereka sembunyi di dalam rumah. Sekitar pukul 19.00 waktu Christchurch, polisi akhirya datang dan mengambil identitas dari setiap jamaah yang sembunyi, termasuk dirinya.
"Kami disuruh stand by. Jam 07.30 malam, saya diantar polisi sampai ke rumah dengan selamat" ujarnya.
Ia mengaku, ingatan tersebut masih sulit untuk dilupakan. Saat ini pun, ia masih membutuhkan perawatan psikologi karena trauma akan kejadian tersebut.
Walaupun begitu, hidup harus tetap dilanjutkan. Ia pun telah mengunjungi beberapa jamaah yang juga menjadi korban dari penembakan itu.
Ia mencoba tegar dan menghadapi situasi yang ia alami ini. Irfan pun bersyukur karena masih diselamatkan dan diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalani sisa hidupnya.