Senin 18 Mar 2019 20:01 WIB

Kunjungi Anak di Christchurch, Ayah Ini Ditembak Teroris

Mohammed Amin mengalami koma setelah ditembak teroris.

Red: Nur Aini
Seorang siswa memegang lilin saat peringatan untuk mengenang korban penembakan di luar Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, Senin (18/3/2019).
Foto: AP/Vincent Thian
Seorang siswa memegang lilin saat peringatan untuk mengenang korban penembakan di luar Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, Senin (18/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Hanya lebih dari tiga minggu yang lalu, Mohammed Amin tiba di Christchurch untuk mengunjungi putranya. Namun, kini ia terbaring di ranjang rumah sakit dalam keadaan koma setelah ditembak selama serangan teror di masjid Christchurch pada Jumat (15/3).

Amin adalah ayah tunggal dari tiga anak dan berada di Christchurch untuk mengunjungi putra bungsunya ketika mereka berdua terperangkap dalam penembakan teroris di dua masjid. Sebelum tiba di Selandia Baru, Mohammed berbicara dengan teman-temannya tentang betapa Selandia Baru adalah negara yang aman.

Baca Juga

"Tempat ini aman - tidak ada orang bersenjata, tidak ada senjata," kata Yasir tentang ayahnya yang memberi tahu teman-temannya.

"Kamu bisa datang ke Christchurch - jauh dari mana-mana, ini adalah tempat yang sangat terkendali," kata Yasir.

Pada Jumat (15/3) siang, pasangan ayah-anak itu melakukan tradisi ayah-anak mereka untuk menunaikan shalat jumat di masjid.

"Kami keluar dari mobil dan berjalan 10-15 langkah dan saya mendengar suara tembakan, tetapi saya tidak menganggapnya serius," kata Yasir.

"Setelah 15-20 detik saya mendengar tembakan senjata lainnya."

"Saya menyadari ada yang salah. Saya berkata, 'Ayah, kita harus lari. Mereka bertengkar'."

Yasir dan ayahnya berjalan di sepanjang jalan menuju masjid dan tidak menyadari penembakan itu datang dari mobil di sebelah mereka.

"Pada saat itu, pria tersebut melihat kami, mengendarai mobilnya 15 meter ke arah kami. Tepat di depan kami, tujuh hingga delapan meter jauhnya dan kami mulai melarikan diri dari dia," kata Yasir.

"Ia cepat, kami tidak punya cukup waktu. Ayah saya tak secepat saya dan ia beberapa langkah di belakang saya."

"Saya melihat darah di sekujur tubuhnya."

Yasir tidak melihat pria yang menembak ayahnya dan mengatakan yang ia bisa "ingat adalah senjata besar".

Ketika mobil itu melaju pergi, Yasir memanggil ambulans. Ia tak tahu tentang pembantaian yang hanya beberapa meter darinya di dalam masjid.

Kesedihan berlanjut

Mohammed menjalani dua operasi untuk menghilangkan tiga peluru yang bersarang di tubuhnya dan mengalami koma. Yasir Amin mengatakan ayahnya "sangat istimewa" baginya, terlebih lagi sejak ibunya meninggal ketika Yasir baru berusia enam tahun.

Ia ingin tinggal di sisi ayahnya, tetapi diberi tugas menyeramkan lainnya: mengidentifikasi jenazah korban lain di kamar mayat. Salah satu dari sembilan orang yang ia identifikasi adalah sahabatnya, Nahim Rashid.

"Ia sangat dekat dengan saya, setiap hari Jumat ia dan putranya pergi ke masjid, ia mencoba untuk melompat ke pria bersenjata itu, tetapi ia tak bisa menghentikannya," kata Yasir.

Peringatan yang mengerikan

Anggota Dewan Kota Christchurch, Anne Galloway, mengatakan ia duduk dan berdoa bersama para perempuan di sebuah ruangan di Masjid Al Noor pada 2017 - ruangan yang sama tempat mereka dibunuh dua tahun kemudian. Galloway mengatakan, meskipun penembak itu bukan warga lokal Christchurch, serangan teror itu mengingatkan bahwa kota itu tidak terisolasi dari kefanatikan dan kebencian.

"Kami sedikit menghibur diri kami dengan kenyataan bahwa orang ini datang ke kota ini, tetapi saya pikir ini adalah peringatan bahwa kami juga memiliki orang-orang di komunitas yang memiliki pandangan sama," katanya.

"Itu akan menjadi tantangan bagi kami untuk maju - apa yang kami lakukan dengan itu ... benci? Bagaimana kami membangun komunitas terhubung yang aman yang kami semua inginkan, mengetahui bahwa kejadian itu bisa terjadi?."

Galloway melakukan apa yang telah dilakukan banyak orang di kota itu selama periode kelam ini berlangsung.

"Saya pikir ada banyak air mata yang belum ditumpahkan karena kami terkejut ini telah terjadi di kota kami, di negara kami," katanya.

Masih banyak yang syok

Bagi banyak orang, ini adalah tragedi kedua dalam waktu kurang dari satu dekade. Pada 2011, gempa berkekuatan 6,3 menewaskan 185 orang di Christchurch dan psikolog klinis, Martin Dorahy, mengatakan kejadian itu masih "segar di ingatan" sejumlah penduduk setempat.

"Sudah delapan tahun, tetapi belum terasa selama itu," kata Dr Dorahy.

"Ada pembangunan kembali di sekitar kami, orang-orang terus melangkah tetapi mereka berjuang dan terus berjuang."

Ia mengatakan, peristiwa pada hari Jumat itu bisa memicu trauma tidak aktif yang diderita akibat gempa bumi.

"Ini benar-benar membangunkan kembali kenangan buruk bagi orang-orang yang belum bisa mengatasi gempa bumi," katanya.

"Jangan lagi, ini sulit. Bagaimana kami akan melewati ini? Apakah kami akan berhasil?' - tipe pertanyaan itu muncul."

Tapi kali ini bukan bencana alam. Kali ini "sangat terencana".

"Kelompok yang merasa benar-benar ditargetkan oleh kejadian ini dan kelompok lain yang benar-benar merasa tak berdaya apa yang harus dilakukan kapan harus melakukannya - kapan harus terhubung, bagaimana bisa membantu," kata Dr Dorahy.

"Mencoba untuk memahami ini dengan cara yang berarti akan memakan waktu yang lama - rasanya jauh dari pemahaman warga."

Simak berita ini dalam bahas Inggris di sini.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2019-03-18/kisah-ayah-yang-kunjungi-putranya-di-christchurch-dan-jadi-korb/10914330
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement