Senin 18 Mar 2019 20:21 WIB

Generasi Rohingya Terancam tanpa Pendidikan

Anak Rohingya yang berada di Bangladesh tidak mendapatkan hak pendidikan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Wajah nak-anak Rohingya di sebuah kamp pengungsi di Cox Bazaar, Bangladesh
Foto: Cathal McNaughton/Reuters
Wajah nak-anak Rohingya di sebuah kamp pengungsi di Cox Bazaar, Bangladesh

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pada akhir Januari lalu Kefayat Ullah, remaja 16 tahun berjalan ke sekolahnya yang berada di sebelah selatan Bangladesh. Perjalanan yang ia lakukan selama enam tahun terakhir. Ullah tidak tahu perjalanan itu menjadi perjalanan terakhirnya ke sekolah.

Walaupun ia salah satu siswa terbaik di kelasnya, Ullah dikeluarkan dari sekolah. Penyelidikan pemerintah Bangladesh mengeluarkan Ullah dan puluhan teman sekelasnya dari sekolah. Mereka dikeluarkan hanya karena mereka pengungsi Rohingya.

Baca Juga

"Kepala sekolah memanggil kami ke kantornya dan ia mengatakan kepada kami ada perintah siswa Rohingya tidak memiliki hak untuk belajar di mana pun," kata Ullah kepada Reuters.

Selama bertahun-tahun, sekolah-sekolah Bangladesh diam-diam menerima siswa Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian. Tapi sejak gelombang kekerasan terhadap mereka di Myanmar terjadi pada 2017 lalu, jumlah pengungsi Rohingya terus membengkak sampai 1 juta orang.

Gelombang pengungsi ini menguji keramahtamahan Bangladesh, membuat negara itu memperketat kontrol mereka terhadap pengungsi Rohingya. 

Kebijakan mengeluarkan siswa Rohingya dari sekolah membuat ratusan ribu anak yang tinggal di pemukiman pengungsi terbesar di dunia itu tidak memperoleh pendidikan. Risikonya anak-anak Rohingya tidak dapat mendapatkan pendidikan yang memadai dan kesempatan untuk memiliki kualifikasi formal.

Sejak militer Myamar melancarkan operasi  yang PBB sebut memiliki 'niatan untuk melakukan genosida' pada akhir 2017, lebih dari 730 ribu Rohingya meninggalkan negara mereka. Ribuan orang lainnya seperti Kefayat Ullah lahir di Bangladesh setelah orang tuanya melarikan diri dari gelombang kekerasan sebelumnya.

Meskipun Myanmar mengatakan mereka siap menerima kembali pengungsi Rohingya tapi masih ada kekerasan dan ketegangan antara etnis di Rakhine, kampung halaman orang Rohingya. PBB juga mengatakan sampai saat ini kondisinya belum memungkinkan bagi warga Rohingya untuk kembali pulang.

Sementara itu, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengatakan negaranya tidak mampu mengintegrasikan Rohingya ke masyarakat Bangladesh. Beberapa negara mengizinkan anak pengungsi untuk belajar di sekolah dekat pemukiman mereka.

Memperbolehkan anak-anak pengungsi mendapatkan kualifikasi yang diakui atau memberikan izin kepada institusi pendidikan mengajarkan kurikulum nasional di kamp-kamp pengungsian. Tapi, Bangladesh tidak mengakui sebagai besar warga Rohingya sebagai pengungsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement